London, September 2009
Bapak adalah laki-laki senja bagiku. Beliau selalu sampai di rumah sehabis maghrib dengan wajah capek yang tetap terlihat bahagia. Kupikir Bapak menyambut senja dengan baik. Tak ada keluh kesah dibalik perjalanannya pulang yang beratapkan langit membiru nila dengan secercah oranye di batas cakrawala. Matahari terbit membuatnya tersenyum setiap pagi untuk semangat bekerja. Dan, setiap senja datang senyuman itu seperti ikut pulang bersamanya.
Satu paragraf itu dibacanya dalam diam. Dengan hati yang sesak, Alya sungguh menyesal atas isak tangis yang terluapkan di saat perjalanan menuju London. Tak seharusnya ia menangis hanya karena rasa yang tak sampai, terlebih karena perpisahaan dengan seseorang yang hanya ia cintai selama tiga tahun lebih. Sementara cinta pada ayahnya sudah genap hampir 22 tahun dan ia pun hampir mengabaikannya.
“Nanti saat di sana, rajin-rajin hubungi orang rumah, ya, Mbak. Sampaikan kabar bahwa Mbak baik-baik saja. Ya, setidaknya dua minggu sekali.”
Alya ingat jelas pesan ayahnya yang disampaikan sehari sebelum dia berangkat ke bandara Soekarno-Hatta. Kini rindu diam-diam menyelinap dalam hati. Merengkuh kesepian sejenak. Mengingat kembali bahwa keluarga sudah terlampau jauh di seberang sana. Rupanya, keindahan kota London takkan pernah bisa menggantikan hangatnya suasana rumah.
Di sini, tak ada lagi senyum senja Bapak.
Baru saja seminggu meninggalkan Indonesia, baru saja seminggu yang lalu menelepon keluarga, semua itu tidak cukup menutup kerinduan untuk pulang. Sebuah tulisan yang pernah dikutip oleh teman kuliah Alya sewaktu S1, memang benar. Merantaulah… agar kamu tahu bagaimana rasanya rindu dan kemana kau harus pulang. Merantaulah… engkau akan tahu betapa berharganya waktu bersama keluarga.[1]
Tak terasa setetes air menggelayut di ujung mata. Wajah terasa hangat. Alya memutuskan untuk menutup laptop di hadapannya. Beranjak dari meja belajar, lalu pergi ke kamar mandi yang terletak di sebelah kamarnya Nayomi. Mengambil air wudhu. Tak lama kembali lagi ke kamar, tangannya meraih mukena di atas kasur. Sudah pukul 08.23 AM, dia pun hendak melaksanakan shalat Dhuha.
Ya Allah Yang Maha Pengasih Lagi Penyayang, selamatkanlah keluarga hamba di dunia dan akhirat, doanya setelah shalat. Aamiin.
***
Kota London sedang memasuki musim gugur, sementara para penganut agama Islam sedang menjalankan ibadah puasa hingga pertengahan akhir September tahun ini. Di Eropa, puasa akan terasa lebih lama dibanding di Indonesia. Hampir 15 jam setiap muslim di benua ini harus berjuang menahan lapar, haus, dan nafsu setiap hari di bulan Ramadhan. Alya pun akan beradaptasi hingga satu tahun ke depan dengan kondisi seperti ini. Shubuh yang lebih cepat dan Maghrib yang lebih lambat dari biasanya.
“Alya, kita buka puasa di luar, yuk? Diajak sama Daddy,” pinta Nayomi lembut.
“Serius, Nay? Itu acara keluarga mungkin. Aku takut ganggu.” Alya menyeringai, lalu melanjutkan kembali merapikan berkas-berkas yang dua hari lalu baru saja diurus ke University College London.