Beberapa bulan lalu, Alya masih tak menyangka takdir akan membawanya pergi ke semenanjung Eropa. Dia belum pernah merantau sama sekali, tapi sekalinya merantau dia benar-benar tak bisa pulang pergi dengan mudahnya. Eropa terlalu jauh dari rumah. Sangat jauh. Butuh jutaan rupiah untuk pulang dan kemudian datang kembali.
Ya Allah, semua ini sungguh di luar dugaan.
Alya pernah berpikir bahwa kesederhanaan keluarganya takkan pernah bisa memberinya kesempatan untuk pergi ke luar negeri. Dia mengira uang adalah modal nomor satu untuk merantau jauh dari rumah, namun rupanya tidak. Tabungannya yang berisi doa, perjuangan, keyakinan, kepercayaan, dan pasrah kepada Sang Pencipta selama ini adalah modal yang takkan pernah tergantikan. Modal itu terpaut dengan pemahaman hidup yang sejak kecil sudah ditanamkan oleh orangtuanya. Maka, Alya selalu bersyukur telah dilahirkan di tengah-tengah keluarga yang mengajarkannya soal kehidupan dengan baik. Ada ibu, bapak, dan adik satu-satunya yang tak pernah berhenti mendukungnya.
Alhamdulillah.
***
Ketika itu. Setelah melihat pengumuman bahwa Alya gagal mendapatkan beasiswa S2 ke luar negeri, dia langsung diam seribu bahasa. Peringkatnya yang hanya berada satu di bawah peringkat orang terakhir yang lolos begitu membuatnya sesak. Dirasa takdir tak berpihak sama sekali kepadanya. Beginilah takdir. Jika memang ditakdirkan tidak pergi, bukankah seribu perjuangan pun tetap percuma? Alya menyerah. Ketika malam datang, air matanya tak dapat tertahan lagi. Dia menangis seusai shalat Isya.
Salahkah aku bermimpi terlalu tinggi hanya untuk membanggakan orangtua dan mengubah kehidupan keluarga ini, Ya Allah?
Alya terus mengeluh kepada-Nya di penghujung shalat malam itu. Hingga dia tak sadar, Bu Dewi, ibunya sudah beberapa menit masuk ke kamarnya dan terduduk di kursi meja belajar dekat pintu kamarnya.
“Allah punya rencana lain, Mbak,” ucap ibunya lirih sambil memeluk putri pertamanya itu. Tangannya tak berhenti mengusap punggung Alya. “Percayalah, Allah selalu memberikan yang terbaik, Mbak, kita saja yang belum tahu.”
Alya hanya mengangguk-angguk, masih dalam dekapan ibunya. Isak tangis tadi pun mulai mereda. Tak lama Bu Dewi mencium kepala Alya. “Apa yang baik menurut kita belum tentu baik menurut Allah, Mbak. Tetaplah memohon petunjuk kepada-Nya. Ibu dan Bapak InsyaAllah selalu mendoakan yang terbaik untukmu dan Ratna.” Ucapan tersebut menutup kelam malam hari itu.
Tak lama ibunya keluar kamar. Alya memutuskan untuk tidur lebih cepat. Dia pun menghela napas panjang ketika hendak memejamkan mata. Semoga dengan terlelap, mimpi bisa membawa kesedihan pergi. Membuat ia lupa sejenak akan perjuangan yang dirasanya telah sia-sia.
“Hasil Mbak Alya bagaimana, Bu? Lolos, kan?” tanya Ratna, adik satu-satunya Alya yang berselisih satu tahun, beberapa saat setelah sampai di rumah.
“Mungkin belum rezekinya, Ratna.” Bu Dewi tersenyum getir.
Ratna bergegas pergi ke kamarnya yang memang menyatu dengan kamar kakaknya. Dia mendapati Alya sudah tertidur. Perempuan kelahiran April itu pun menarik napas panjang lalu menghembuskannya perlahan. Lelahnya kuliah dan pergi mencari data ke rumah sakit yang jaraknya jauh dari kampus seharian tadi mendadak hilang. Seketika dia malah teringat tulisan Alya yang tak sengaja dilihatnya beberapa hari lalu.
Aku bahagia melihatnya bahagia, melihatnya kini sudah tumbuh dewasa dan beberapa tahap lagi menjadi dokter. Aku sungguh bahagia ketika dia kelak akan menjadi seseorang yang selalu menyembuhkan keluarganya dan orang lain. Dia sudah sangat membuat bangga Ibu dan Bapak, Ya Allah.