Jakarta – Bandung, Oktober 2009
Matahari sudah menyongsong pagi. Langit yang tadinya mengoranye kini kian membiru muda. Gumpalan awan terlihat jelas seperti jutaan kapas lembut yang mengudara. Mungkin puluhan atau bahkan ratusan orang sedang menikmati panorama ini dari balik kaca jendela pesawat sejak matahari terbit. Mata mereka tersihir seketika melihat rutinitas fenomena alam ini secara langsung di ketinggian puluhan ribu kilometer dari daratan. Beruntung sekali mereka disambut matahari lebih dekat.
Gilang mendongak melihat langit. Kini ia berdiri mematung di area jemput Bandara Soekarno-Hatta, menunggu Pratama yang sudah berjanji akan menjemputnya. Laki-laki berjaket cokelat itu menghirup napas dalam-dalam. Ia biarkan oksigen pagi memenuhi rongga paru-parunya lalu menghembuskannya perlahan. Selamat datang kembali di Indonesia. Setelah berminggu-minggu mengurus kuliah doktornya yang akan dimulai bulan Februari tahun depan di benua kangguru, sekaligus menyimpan koper kecil dan seisinya, Gilang pun kembali pulang. Kemudian, lagi-lagi ia akan berhadapan dengan kenangan tentangnya. Perempuan yang masih tampak jelas dalam ingatannya, walau sudah pergi jauh beribu-ribu kilometer darinya.
Setelah lima menit menunggu, akhirnya ada satu mobil sedan berhenti tepat di depan Gilang. Kaca jendela depan menurun. Dari sana terlihat Pratama melambaikan tangan dan mengisyaratkan adiknya untuk segera masuk. Alhamdulillah.
“Bagaimana Australia, Kar?” tanya Pratama memecah hening.
“Biasa saja. Masih bagusan Indonesia, Tam,” jawab Gilang datar.
Suasana lengang. Hanya ada lagu instrumental yang bersenandung memecah keheningan. Gilang menatap keluar jendela mobil di samping kirinya. Pandangannya kosong. Pratama sesekali menoleh ke arah adiknya itu. Dia berdecak. Lalu, kembali memerhatikan jalanan di depannya. Terlihat antrean mobil panjang memenuhi jalur yang sedang dilewatinya. Macet. Sesekali mobil memang melaju, tapi hanya sesekali dan itu tak lebih dari lima meter.
“Kar?” Tiba-tiba terdengar sebuah seruan tepat ketika Gilang baru saja hampir tertidur. Yang dipanggil pun hanya menjawab ‘ya’ dengan mata yang masih terkantuk-kantuk.
Pratama menghela napas panjang. Pandangannya masih lurus ke depan “InsyaAllah, saya akan segera melamar Annisa, perempuan yang pernah saya ceritakan kepadamu, Kar. Saya akan usahakan pernikahan saya lalu pernikahanmu bisa dilakukan sebelum kamu kembali lagi ke Australia,” jelasnya lugas.
Pernikahan? Gilang teringat bahwa dia pernah bercerita soal perempuan yang akan dilamarnya sebulan lalu. Hanya Pratama satu-satunya yang mengetahui rencana sakral tersebut, karena hanya kakak keduanya itu yang belum menikah dan tentu Gilang tak mau melangkahinya. Tadinya, dengan memberi tahu soal rencananya, dia berharap Pratama bisa lebih cepat melamar calon wanitanya. Tapi, kini untuk apa harapan itu, jika perempuan yang ia cintai selama tiga tahun lebih dalam diam sudah berjarak ribuan kilometer darinya.
“Tak usah terburu-buru, Tam. Menikah saja kapanpun. Mungkin tiga tahun ke depan saya takkan memikirakan soal pernikahan dulu.”
Dahi Pratama mengerut.
“Maksudmu, perempuan yang bernama Alya itu menolakmu? Atau belum siap menikah? Atau dia mau kamu lulus S3 dulu?” Segelintir pertanyaan terlontar begitu saja dari mulut kakaknya.