London, Oktober 2009
Jika saja Alya gagal mendapatkan beasiswa penuh untuk S2 ke luar negeri, mungkin siang ini dia bukan sedang duduk menunggu kedatangan Nayomi di UCL Science Library sembari membaca buku ‘Corporate Strategy’. Jika saja Alya tidak langsung mengangkat telepon dari lembaga pemberi beasiswa dan bersedia untuk menggantikan penerima beasiswa yang ketahuan melakukan kecurangan, beberapa hari setelah melihat pengumuman bahwa dia tidak lolos seleksi, mungkin London hanya akan menjadi impiannya yang entah kapan tereksekusi. Bisa jadi ibu kota Inggris ini bukanlah tempat pertamanya untuk merantau.
Bisa jadi aku akan menerima lamarannya, lalu Australia menjadi tempat perantauanku yang pertama.
Alya tersipu malu sendirian. Matanya masih menatap barisan-barisan kata di hadapannya, tapi pikirannya mulai mengacau. Dia kadang kali membayangkan bagaimana jadinya apabila saat itu dia menerima lamaran Gilang, seperti sekarang. Tampaknya, sebulan lebih sejak perpisahan mereka di bandara tidak membuat perempuan kelahiran Bandung itu mudah mengabaikan laki-laki yang sudah ia cintai selama tiga tahun lebih dalam diam. Walau rindu kepada keluarganya lebih besar, tetaplah masa lalu tak bisa terasingkan begitu saja.
“Kamu sedang memikirkan Kak Gilang, ya? Mukamu jadi kemerahan seperti itu, Al. Lama-lama aku takut padamu,” ucap Nayomi sambil meletakkan dua buku tebal di atas meja. Dia menarik keluar kursi yang ada di hadapan Alya lalu mendudukinya.
Alya langsung memegang pipinya bergantian dengan tangan kanannya. Lalu, dia menyeringai. Matanya kembali menatap barisan kata pada buku yang dari tadi ia baca. Nayomi pun tak berucap lagi. Kini keduanya terlihat lebih fokus. Minggu depan mereka memang memiliki tugas untuk presentasi di mata kuliah ‘Corporate Strategy’. Ditambah lagi, ada tugas membuat essay untuk beberapa mata kuliah lainnya. Perjalanan panjang yang sudah dimulai dari hampir sebulan lalu akan terus membutuhkan perjuangan dan konsistensi yang tinggi.
Yang rajin akan terus di depan, yang malas akan terus tertinggal. Di salah satu daratan semenanjung Eropa ini, di negara manapun, atau di manapun kita belajar, berhentilah memandang rendah orang lain. Tak perlu bandingkan kita dengan orang-orang yang malas, lalu menyatakan diri kita lebih baik dari mereka. Untuk lebih maju, carilah orang yang selalu berjuang dan belajar, carilah orang yang selalu ada di atas kita, agar kita tak pernah berhenti untuk belajar lebih baik, agar kita tak pernah sekali saja menghentikan langkah hanya karena merasa diri kita lebih baik dari mereka, hingga kita bersantai ria.
Anggaplah semua orang di sekitarmu adalah orang rajin, Alya. Maka, kamu takkan mudah begitu saja ingin berfoya-foya.
Tiga jam berlalu. Tak satupun dari Nayomi dan Alya yang menyerah akan buku super tebal yang dibacanya lalu sesekali dicatat intinya. Tapi, tak lama kemudian, Alya menutup buku lebih dulu. Dia menghela napas panjang. Sudah cukup, InsyaAllah besok bisa dilanjutkan lagi.
“Mau sampai kapan kamu rangkumnya, Nay?” tanya Alya sambil merapikan buku dan catatan di hadapannya.
“Five minutes again, please. I’m almost done,” jawab Nayomi sambil menunjukkan beberapa deretan paragraf yang tersisa untuk bab bersangkutan.