Di Antara Ribuan Jeda

Ghoziyah Haitan Rachman
Chapter #9

Kata Terpendam

London, Oktober 2009

Akhirnya, perjalanan mencari kado untuk Bu Diana hanya berujung di toko kue Cake Walk. Nayomi memutuskan untuk membeli kue ulang tahun saja dengan lilin berbentuk angka, sedangkan Farren pasrah menunggu di mobil sendirian. Ketika pulang, tak ada lagi percakapan. Alya pun ikut diam. Dia menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan. Kini matanya terus menatap langit yang mulai teduh. Menyebalkan. Dia sungguh benci situasi seperti ini. Seharusnya, hari ulang tahun seseorang akan menyenangkan, tapi kakak beradik itu malah mengawalinya dengan luka yang tak sengaja tergores di hati mereka begitu saja.

“Assalamu’alaikum. Happy birthday, Mama. Semoga Allah selalu melindungi Mama di manapun dan kapanpun,” ucap Nayomi, saat ibunya membukakan pintu. Lalu, dia pun langsung menyodorkan kue tart lengkap dengan lilin yang baru saja dinyalakan, setelah sampai di depan rumah. “Maaf ya, Ma. It’s only a cake,” tambahnya sambil tersenyum. Bu Diana pun tersenyum dan meniup lilin di hadapannya.

“Selamat ulang tahun, Tante,” ujar Alya lembut sembari mencium tangan ibu sahabatnya itu.

Yang di belakang Alya malah terdiam. Farren melihat ibunya dengan mulut tertutup rapat-rapat. Tak lama, tatapannya mendadak buram. Dia berjalan mendekat. “Sorry, Ma.” Farren memeluk erat ibunya. “Saya ke atas dulu, mau ke kamar mandi,” lanjutnya.

Alya memerhatikan laki-laki itu menaiki tangga. Kakinya seperti berat untuk melangkah. Sosoknya yang biasa terlihat dingin sekarang tak tampak sama sekali. Ada segudang pertanyaan yang ingin diajukannya pada Nayomi, tapi untuk apa. Hal ini bukanlah urusannya. Dia hanya menumpang di rumah sahabatnya, tidak untuk ikut campur dalam satupun masalah yang hadir di sana. Titik.

Seusai shalat Ashar, Nayomi dan Alya sibuk menyiapkan makan malam bersama. Membuat pasta dan schotel makaroni panggang. Alya sesekali berbicara soal apapun yang ada di otaknya tanpa menyinggung sedikitpun soal itu. Kebanyakan yang lucu menurutnya, lalu membuat Nayomi hanya tertawa kecil yang terdengar miris. Hingga akhirnya makanan pun sudah siap disajikan. Alhamdulillah, gumam Alya. Tak lama dia dan sahabatnya terduduk di sofa ruang tengah. Mereka menghela napas panjang. Menyandarkan tubuhnya.

Dari balik pintu kaca geser di samping kanan Alya, terlihat langit mulai mengoranye dengan gumpalan-gumpalan awan mengudara di atap bumi. Matahari sebentar lagi tenggelam, bersembunyi di bawah garis cakrawala. Adzan Maghrib dalam hitungan menit akan segera berkumandang. Alya tersenyum. Pipinya sedikit melekuk menyimpul lesung pipit. Allahu Akbar. Sungguh Allah  Maha Besar. Dia ciptakan langit teduh di hampir penghujung hari dengan begitu indah.

“Al, sorry ya,” kata Nayomi tiba-tiba memecah lamunan Alya. Kemudian dia menyeringai. Tampak gigi putihnya yang berbaris rapi.

Tak ada jawaban melalui ucapan. Alya hanya membalasnya dengan senyuman.

Pukul 06.12 PM. Di daerah London baru saja memasuki waktu shalat Maghrib. Pak Tomy, yang dari sejam lalu sudah pulang dari kerjanya, memimpin shalat berjamaah, sedangkan Farren memutuskan untuk shalat di mesjid Peckham Islamic Centre yang berjarak sekitar tiga kilometer dari rumah orangtuanya itu.

Ya Allah, maafkan hamba, mohon Farren berkali-kali sepanjang perjalanan menuju mesjid dengan mengendarai mobilnya.

“Makannya kita mulai setelah Farren datang ya,” pinta Bu Diana setelah shalat selesai. Lalu, beliau beranjak pergi ke kamarnya di lantai dua. Merapikan kamar yang sebenarnya sudah rapi. Beberapa saat kemudian, berjalan ke ruang wardrobe di samping kamar mandi dalam kamarnya. Membuka satu lemari pendek di dekat pintu. Terlihat banyak jilbab menumpuk di sana. Seperti tak pernah lagi disentuh, bahkan dipakai. Bu Diana mulai merasa sesak. Beliau mendongak. Tatapannya mulai kabur karena menahan air mata.

Kapan saya bisa pakai kerudung lagi, Ya Allah? tanyanya dalam hati.

Trauma beberapa tahun lalu belum juga hilang. Beliau jadi teringat laki-laki separuh baya yang memaksa melepas kerudungnya sambil berteriak-teriak. Pria tua itu bilang bahwa istri dan anaknya telah meninggal karena tragedi Bom London 2005. Dia menganggap semua orang muslim adalah teroris di balik peristiwa mengenaskan tersebut. Pada akhirnya, dia pun menodongkan pisau pada Bu Diana. Menyabet lehernya di dekat letak urat nadi. Lalu, kabur ketika beliau terjatuh dan terkapar tak berdaya di pinggir jalan. Darah bercucuran. Napas mulai sesak dirasa. Semua menjadi gelap.

Astaghfirullah.

Bu Diana benci mengingatnya. Membayangkan kematian yang hampir saja merenggut nyawanya. Dengan cepat, beliau menutup kembali lemari kecilnya. Ia langsung berbalik badan dan beranjak keluar dari ruangan wardrobe. Namun, langkahnya terhenti di ujung pintu. Pandangannya tertuju pada seorang laki-laki yang sedang duduk di kasur dengan kepala tertunduk.

 

***

 

Lihat selengkapnya