Canberra, Januari 2010
Tiga bulan telah berlalu sejak awal pengerjaan proyek terkait manajemen RS Hasan Sadikin. Gilang berhasil menyelesaikannya hingga dapat diimplementasi dengan baik. Kepala rumah sakit pun merasa puas, terlebih lagi vendor yang menawarkan sistem manajemen tersebut. Kedua belah pihak saling diuntungkan dengan keberadaan Gilang yang mengerti jelas soal proyek ini. Anna yang sering membantunya kerap kali mendapat pujian dari laki-laki itu, yang kini rambutnya sudah lebih dari satu sentimeter.
Gilang dan Anna bagaikan direktur dan sekretaris. Keduanya mendadak menjadi buah bibir di kalangan dokter dan petinggi rumah sakit. Bahkan beberapa dari mereka malah menjodoh-jodohkan keduanya. Bu Rita yang mendengarnya hanya mengangguk-angguk setuju. Sementara Anna tersipu malu dan Gilang tertawa kecil tak peduli. Omongan itu tak mengubah apapun.
Kau masih menjadi seseorang yang namanya selalu saya sematkan dalam setiap doa, Alya.
Seuntai senyuman kecil menghiasi wajahnya. Gilang merasa geli jika teringat gosip di rumah sakit saat itu. Bukankah mereka sudah lebih dewasa? Seharusnya mereka tahu jelas bahwa menjodoh-jodohkan tanpa adanya perbuatan melainkan hanya dijadikan sebagai bualan dapatlah menyakitkan. Mungkin nanti, akan ada rasa yang tumbuh mekar di tengah pekarangan harapan-harapan kosong. Gilang menghela napas. Sayang, tak semua orang dapat mengerti, sama seperti kita yang terkadang sulit mengerti mengapa orang lain tidak mengerti.
“You’ve arrived, Sir,” ucap sopir taksi yang mengantar Gilang dari bandara Canberra ketika telah sampai di tujuan. Laki-laki yang tadi melamun pun tersadar. Dia menoleh ke luar, lalu tersenyum lebar hingga tampak giginya.
Alhamdulillah. Welcome to Australia again.
Dengan mantap, Gilang yang membawa koper besar melangkahkan kaki ke rumah sementaranya yang beberapa bulan lalu ia singgahi. Tiga tahun ke depan, rumah teduh ini akan menjadi tempatnya untuk menetap. Suara Bima, Aldi, John, dan Flyn akan terdengar setiap hari. Mereka akan menjadi teman-teman seperjuangannya, walaupun empat sekawan itu kini masih menempuh kuliah master, bukan doktor.
“Safe flight, Bro?” tanya Flyn, laki-laki bule berkulit putih dan berambut pirang yang berasal dari Sydney, sambil memindahkan siaran televisi ketika Gilang duduk di sebelahnya di sofa ruang tengah.
“Yes, as you see.”
“Do you bring me something from Indonesia?” tanya John, laki-laki bule berbadan gempal dan berkacamata yang berasal dari Melbourne, yang tiba-tiba muncul ke ruang tengah.
Gilang mengacungkan jempol. “Of course, as you ordered, Sir.”
“Memangnya dia pesan apa, Lang?” Aldi, laki-laki asli dari Jakarta yang berkulit sawo matang dan berambut lebih dari dua sentimeter, menimpali sembari menaruh segelas air dingin di meja ruang tengah.