Canberra, Februari 2010
Ada dua mahasiswa lagi, selain Gilang, yang dibimbing oleh Profesor Anderson. Mereka berdua adalah sepasang suami istri yang berasal dari Malaysia. Umur mereka berselisih lima tahun di atas umur Gilang. Tentu saja, mereka lebih berpengalaman. Terkadang Gilang jadi menganggap dirinya terlalu muda untuk kuliah doktor. Dengan secuil pengalamannya, dia belum bisa sebagus kedua sejoli itu dalam berpikir kritis dan memecahkan masalah. Tapi beruntunglah, karena Profesor Anderson tidak pernah meremehkan satupun mahasiswanya. Katanya, umur muda tak pernah menjadi penghalang bagi seseorang untuk melangkah lebih maju dari yang berumur lebih tua.
Gilang tersenyum mantap. Hatinya sejak beberapa menit yang lalu sibuk berdoa. Sementara kini kakinya melangkah menuju panggung kecil di ruang kelasnya. Dalam hitungan detik, dia akan mempresentasikan bahan ide disertasinya di depan puluhan mahasiswa master yang diundang oleh Profesor Anderson. Setelah selesai, mahasiswa tersebut diminta untuk mengkritisi apa yang telah disampaikan oleh sang presenter.
“Good afternoon. My name is Gilang Adhikari. I’d like to present my idea of PhD thesis... Actually, my research will be related to enterprise architecture and business management for two companies with same services in two different countries. As we know that, there are various frameworks of enterprise architecture...”
Selama 30 menit, Gilang yang mengenakan jas hitam tak berhenti bercakap soal penelitiannya yang akan berhubungan kuat dengan manajemen teknologi. Para hadirin pun memerhatikan dengan begitu saksama. Ada beberapa dari mereka yang sesekali mencatat. Mungkin, mereka sedang menuliskan pertanyaan. Profesor Anderson hanya mengangguk-angguk sambil tersenyum.
“Right now, you all can ask me some questions related to this research. Thank you,” ujar Gilang di penghujung waktu presentasinya.
Tak lama beberapa orang mengangkat tangan kanannya tidak terlalu tinggi. Lalu satu per satu mengajukan pertanyaan. Gilang langsung menjawabnya dengan lugas. Semua kata-kata yang dilontarkannya begitu jelas. Yang tadinya bertanya merasa puas, lalu mengangguk sendiri.
Hampir setengah jam kemudian, sesi pertanyaan ditutup. Mahasiswa yang diundang pun keluar. Sementara Gilang mendekati Profesor Anderson yang duduk di bangku paling depan bersebelahan dengan Ahmad dan Raina, sepasang mahasiswa S3 yang berasal dari Malaysia itu.
“Well done, Gilang.” Profesor Anderson menjabat tangannya Gilang, lalu meninggalkan ruangan yang diikuti Ahmad dan Raina.
Bismillahirrahmanirrahim. Semua ini baru saja dimulai, gumam Gilang dalam hati sesaat setelah keluar dari ruangan.
***
Orang-orang berlalu lalang di koridor gedung tengah milik Australian National University. Beberapa dari mereka terduduk di sofa-sofa yang tersedia di sana, termasuk Gilang yang beberapa menit lalu telah mengakhiri presentasi disertasinya. Tangannya kini sedang membuka sebuah buku ‘Technology Innovation’. Dia membacanya dengan sesekali menoleh ke sekelilingnya. Berjaga-jaga jika orang yang ditunggunya sudah mendekat. Tak lama, seorang laki-laki yang sedang digandeng perempuan berambut sebahu menghampiri Gilang.
Dahi Gilang kini mengerut. Matanya melongo. Siapa dia? Wajah perempuan itu tidak pernah dikenalinya. Dia pun berdecak. Baru sadar bahwa dia belum lama ada di Australia. Belum cukup waktu untuk mengetahui semua temannya Bima.
“Kenalkan, Lang. Namanya Putri,” jelas Bima singkat ketika Gilang sudah berdiri dan memasukkan bukunya ke dalam tas. Sementara Putri yang sepertinya keturunan asli Indonesia hanya tersenyum mengangguk. Lalu, tiba-tiba Bima mendekatkan mulut ke telinga sahabatnya. “Dia calon saya, Lang,” bisiknya.
Gilang mengangguk sembari tersenyum, kemudian mendapati Bima melangkah maju duluan di depannya.