London, Februari 2010
Sudah satu bulan salju menyelimuti kota London. Alya bahagia luar biasa mengetahuinya pertama kali. Akhirnya, salju yang pernah dia mimpikan beberapa tahun lalu kini dapat disentuhnya secara langsung. Butiran es beku yang terjun bebas dari langit alam. Indah sekali ketika melihatnya. Mata Alya seolah terhipnotis hingga pernah lupa mengenakan mantel saat bermain salju di depan rumah sementaranya di hari kedua musim salju. Saat itu Nayomi hanya tertawa dan mengambilkan mantel untuk sahabatnya.
Alhamdulillah. Alya mengucap syukur kepada-Nya tiada henti. Rupanya, tidak hanya salju yang begitu menawan, melainkan hasil nilai akademik Alya dari Term 1 pada tingkat satu pun menjadi kabar bahagia bagi keluarga Pak Bambang di Indonesia. Ketika Bu Dewi mendengar sendiri dari suara anak pertamanya yang bergetar sewaktu meneleponnya bahwa hasil nilainya teramat jauh di atas ekspektasi, mata beliau langsung berkaca-kaca. Ya Allah, semua anugrah yang terjadi di dunia ini adalah berkat karunia-Mu. Apa-apa yang terkecap manis pada ujungnya tetaplah karena kehendak Allah Maha Pemberi Nikmat.
Kemudian, tepat akhir bulan ini, Alya dan Nayomi memasuki pertengahan Term 2 pada tingkat satu masa belajarnya di University College London. Dengan memakai mantel tebal, mereka harus pergi ke kampus sambil menahan dingin yang masih saja menyelinap ke pori-pori kulit. Hingga akhirnya, pada pertengahan bulan tubuh Nayomi akhirnya menyerah. Dia terkena flu berat, sampai-sampai tidak bisa menemani Alya untuk membeli buku hari ini.
“Kamu yakin tidak mau Bang Farren menemanimu, Al?” tanya Nayomi sesaat sebelum Alya bergegas pergi keluar. Lalu dia bersin sekali. “Kamu tidak takut tersesat?” tambahnya sedikit khawatir. Terlihat hidungnya kemerahan.
“Kan kita pernah beli buku bersama, Nay. Jangan khawatir. Ini masih di bumi, kan?” canda Alya sambil terkekeh. Semenit kemudian dia pun mengucapkan salam dan pergi meninggalkan Nayomi di ujung pintu dengan hidung kemerahan.
Alya menyusuri jalan menuju halte bus di dekat rumah sementaranya. Tiba-tiba langkahnya terhenti karena ada mobil SUV berwarna hitam yang menepi di samping kanannya. Alya menoleh tercekat. Mendapati kaca jendela depan menurun dan terlihat Farren yang tidak berkacamata dengan jaket cokelat melindungi tubuhnya dari dingin.
“Where are you going?” tanya Farren singkat sembari melihat heran ke sekeliling Alya. “Dimana Nayomi?”
“Toko buku, Kak.” Alya merapatkan lagi mantelnya. “Nayomi sakit.” Perempuan berambut diikat satu itu tersenyum tanggung. Farren tak berbicara lagi, tapi tak juga memajukan mobilnya sedikitpun.
“Kak, saya pergi duluan, ya. Assalamu’alaikum.” Untuk kedua kalinya, Alya meninggalkan orang lebih dulu. Farren menghela napas panjang hingga tampak uap keluar dari mulutnya. Dia menatap punggung Alya yang semakin menjauh dari balik kaca spion. Lalu menekan pedal gas menuju rumah orangtuanya.
Sekitar 15 menit kemudian, Alya sampai di halte tujuannya. Dia ikut mengantri. Tak lama dia pun masuk ke bis. Di musim salju begini, memang tak banyak orang yang pergi keluar. Bisa dibilang jumlah orang di bis yang sekarang mulai melaju hanya dalam hitungan jari. Alya mengatupkan mulut. Sesekali membuka ponselnya. Lalu melepaskan tas kecil selendang yang dari tadi di bahu kirinya agar ditempati di pangkuan pahanya. Alya menatap langit yang mendung. Melihat jalan yang penuh dengan salju. Hari ini, suasana kota tidak seramai biasanya.
Alya menghela napas panjang. Kini tangan kanannya menopang dagu. Sering kali uap yang keluar dari mulutnya memburamkan sedikit kaca jendela bus di hadapannya. Di saat-saat seperti ini, pikirannya suka menjelajah masa lalu dan entah kenapa kamu hampir selalu ada di sana, Gilang.
Kak Gilang, bagaimana kabarmu di sana? Apakah baik-baik saja?
Tak butuh waktu lama bagi Alya untuk terlelap selama perjalanan. Matanya tertutup. Sesekali kepalanya terbentur sedikit ke kaca jendela di sampingnya. Tak sadar tas kecilnya sudah terjatuh ke bawah.
***