Di Antara Ribuan Jeda

Ghoziyah Haitan Rachman
Chapter #13

Khawatir

London, Februari 2010

Esoknya, adzan berkumandang di daerah kota London sekitar pukul 05.24 AM. Membangunkan umat muslim di sana untuk melaksanakan shalat Shubuh. Farren yang tidak pulang ke apartemennya kemarin malam kini bersiap-siap ke mesjid Peckham Islamic Centre dengan mengendarai mobil, sedangkan Pak Tomy akan memimpin shalat berjamaah di rumah.

“Bang Farren mana, Ma?” tanya Nayomi seusai shalat sambil melipat mukena putihnya.

“Masih di mesjid mungkin, Nay.” Bu Diana menyalami tangan kanan suaminya. Lalu beranjak pergi ke kamarnya untuk menyimpan mukena dan sajadah. Nayomi mengikuti ibunya dari belakang ketika menaiki tangga. Wajahnya yang lesu belum berubah sejak kemarin. Benaknya tak berhenti bertanya-tanya dimana Alya sekarang berada.

Tak lama mobil Farren akhirnya tiba. Sebelum dia keluar dari mobilnya, Nayomi pun sudah muncul dari balik pintu rumah. Membujuk kakaknya untuk mencari Alya lagi. Farren mengalah. Dia hanya bisa meminta adiknya itu memakai mantel setebal mungkin. Tanpa basa basi, Nayomi langsung mengambil mantel super tebal yang dimiliki ibunya. Lalu masuk ke mobil dan duduk di jok depan menemani Farren.

Kali ini jalur bus yang bisa jadi digunakan oleh Alya kemarin akan menjadi tujuan mereka. Farren terus menelusuri jalan yang dilewati bus tersebut. Tapi, dia tetap tak menemukan jejak apapun soal Alya. Setiap halte dikunjungi dan hasilnya selalu nihil. Tak ada Alya di sana. Yang ada hanya tumpukan salju yang semakin tebal di atap halte. Sementara matahari sudah naik sehasta. Jam tangan Nayomi sudah menunjukkan pukul 07.50 AM.

“Bagaimana jika kita tidak menemukan Alya, Bang?” Farren terkesiap melihat Nayomi yang kini sudah berlinang air mata. Adiknya benar. Bagaimana jika Alya benar-benar hilang? Farren menghentikan mobilnya sejenak. Menyandarkan tubuhnya sesaat. Dia akui bahwa dia memang tidak begitu dekat dengan sahabat adiknya. Tentu saja, karena bagi Farren, mereka memang belum halal untuk saling berdekatan. Namun entah kenapa dia juga merasakan sesak. Dia merasa kehilangan seolah khawatir takkan menjumpai kembali wajah Alya yang teduh.

Farren menghela napas panjang. “Kita ke mesjid dulu ya, Nay. Kita shalat Dhuha biar tenang.” Nayomi tidak menjawab, bahkan tidak menoleh sedikitpun. Sementara Farren tetap melajukan mobilnya ke mesjid terdekat. Hingga beberapa menit kemudian, akhirnya ia menemukan mesjid kecil sederhana di salah satu pinggir jalan. Di atas pintunya tertulis ‘Mosque’. Farren pun keluar meninggalkan Nayomi sendirian di mobil. Perempuan bermantel super tebal itu memang lebih baik tidak keluar. Udara di luar sekarang sangatlah dingin.

Ketika memasuki mesjid itu, Farren mendapati seorang laki-laki berjanggut sedang membersihkan sebagian sajadah di area shalat pria dan seseorang―entah perempuan atau laki-laki― bersandar ke tembok di area shalat wanita sambil memeluk kakinya dengan kepala menunduk. Farren tak mau mengganggu keduanya. Seusai mengambil air wudhu, dia langsung melaksanakan shalat dua rakaat. Lalu dia menengadahkan tangan, berdoa pada-Nya. Berharap penuh dapat segera menemukan Alya dalam keadaan baik.

Excuse me, Sir.” Sesaat Farren hendak keluar, tiba-tiba ada seseorang menepuk pundaknya. Rupanya, orang itu adalah laki-laki yang tadi membersihkan sajadah. “Can you help me?” Laki-laki berjanggut yang tampaknya adalah penjaga mesjid itu menunjuk seseorang yang dari tadi bersandar ke tembok di area shalat wanita. “If you don’t mind, please bring her to the police. I think she get lost.” Farren mengikuti si penjaga mesjid menghampiri perempuan yang dimaksud.

Lihat selengkapnya