Di Antara Ribuan Jeda

Ghoziyah Haitan Rachman
Chapter #15

Petuah

Canberra, April 2010

Kota Canberra telah memasuki musim gugur. Daun-daun kering yang jatuh dari rantingnya mulai memenuhi jalanan. Sama seperti apa yang terlihat jelas di hadapan Gilang sekarang ketika berada di taman sekitar kampusnya. Belakangan ini dia jarang lagi melihat sekelompok mahasiswa duduk-duduk di sana. Mungkin daun-daun yang jatuh itu akan mengganggu mereka. Gilang pun menghela napas panjang. Tapi, dia tak pernah punya alasan untuk tidak berdiam diri di taman ini atau taman manapun. Sepanjang hidupnya, selain mesjid, taman yang ditumbuhi beberapa pohon juga amat menenangkan bagi raganya.

Alhamdulillah, sudah sampai sini,” gumam Gilang sambil menandai catatan pencapaian risetnya hingga akhir bulan ini di buku kecil berwarna cokelat yang sedang ia pegang.

Sejak beberapa menit lalu, dia memang sengaja duduk sendirian di kursi pinggir taman belakang kampusnya. Membaca ulang catatannya dan mencoretnya. Menulis sesuatu entah apa. Kemudian, menyandarkan tubuhnya. Sekali dia mendongak, memandang langit yang mulai teduh. Sadar bahwa hari beranjak sore. Tak lama tangan kanannya meraih ponsel dari tas ranselnya.

“Assalamu’alaikum, Kar. Apa kabar di sana?” ucap seseorang yang menyahut duluan dari balik telepon.

Gilang dengan cepat menjawab salam kakaknya yang berumur lebih satu tahun darinya itu. “Alhamdulillah, baik. Bagaimana denganmu, Tam? Bagaimana yang lain?”

 “Alhamdulillah, baik juga semua. Oh iya, padahal nanti malam waktu sana, saya mau menelepon kamu, Kar. Ada kabar bahagia.” Gilang tersenyum mendengar kalimat terakhir. Kini dia diam, menunggu Pratama melanjutkan. “InsyaAllah, minggu depan saya akan melamar Annisa, Kar. Ibu dan Ayah sudah setuju. Kalau semua lancar, saya akan merencanakan pernikahannya diadakan di pertengahan tahun, ketika kamu libur. Jadi, kamu harus pulang loh, Kar.”

Pratama yang begitu bersemangat pastilah tidak tahu bahwa sekarang senyuman adiknya mulai memudar. Bahkan Gilang sendiri tidak tahu mengapa perasaannya menjadi tidak enak. Ada kekhawatiran yang tiba-tiba bersemayam dalam hatinya. Ya Allah, hamba tidak iri, bukan?

“Kar, kamu pasti datang, kan?” Pratama memastikan.

Lengang sejenak. “Pastilah. InsyaAllah, Tam. Semoga lancar lamarannya, ya.” Gilang terkekeh. Senyumnya kembali mekar, tapi tampak terpaksa.

 

***

 

Kini Gilang menyusuri Kingsley Street menuju terminal bus terdekat seperti rute yang biasanya dia ambil ketika pulang dari kampus. Untuk ke sekian kalinya tanpa Aldi, apalagi Bima yang sudah memiliki dunia sendiri. Di negara yang mulai tidak asing ini, sendirian seolah sudah biasa baginya. Pada saat seperti inilah, dia jadi sering rindu negaranya sendiri. Rindu keluarganya. Rindu dia yang pernah mengindahkan masa lalunya.

Astaghfirullah, gumamnya tiba-tiba sambil menepuk jidatnya. Jangan lagi.

Tak lama Gilang pun sampai di terminal. Sekitar lima menit berselang, bus yang akan dinaikinya datang. Setelah dia dan beberapa penumpang masuk, kendaraan panjang berwarna dominan oranye itu mulai melaju. Dari balik kaca jendela, jalan raya saat ini terlihat tidak terlalu ramai. Pejalan kaki juga semakin jarang seiring dengan hari yang semakin senja.

Gilang menghela napas panjang. Kepalanya bersandar pada jendela bus di sampingnya. Matanya hendak menutup untuk terlelap sepanjang perjalanan, namun mendadak terdengar suara dering dari tasnya. Sambil menatap layar ponsel, dahinya mengerut. Tama?

“Assalamu’alaikum, Gilang.” Salam terlontar lebih dahulu dari seberang sana. Gilang sangat tahu, itu bukanlah suara kakaknya yang ia kira.

“Ibu? Wa’alaikumsalam, Bu,” jawabnya cepat. Dia langsung membenarkan posisi duduknya. Mengurungkan niat untuk tidur.

Lihat selengkapnya