Canberra, April 2010
Tadi malam, setelah dihubungi Putri, Bima langsung pergi ke tempat kejadian dan membawa sahabatnya ke rumah sakit terdekat. Putri menemaninya. Dalam sekejap perempuan itu pun lupa atas kejadian mengerikan sebelumnya. Gilang tersadar keesokan harinya dengan kepala yang sudah dibalut perban. Kepalanya masih terasa sedikit berdenyut di bagian ubun-ubun. Pandangannya sedikit buram. Tapi syukurlah dia tidak sampai kekurangan darah, bahkan kritis. Kata dokter, semuanya masih bisa ditangani. Luka sobek itu hanya perlu dijahit. Beberapa hari kemudian dipastikan akan mengering.
Kini di kamar rawat inapnya, Gilang tak menemukan siapapun. Dia menghela napas panjang. Ya Allah, gumamnya pelan.
Tak lama terdengar suara pintu terbuka. Bima masuk ditemani Aldi. Gilang kembali bangun, menegakkan punggungnya, mengambil posisi duduk. Tanpa banyak kata, Bima langsung mendekap erat sahabatnya. Sementara Aldi hanya tersenyum melihatnya.
“Ya ampun, Lang. Semalaman kamu tidak sadarkan diri. Bagaimana kepalamu? Apakah masih terasa sakit?” Bima melepas dekapannya. Lalu duduk di kursi samping brankar.
“Sedikit,” jawab Gilang singkat. Mukanya tampak pucat.
“Semoga cepet sembuh ya, Lang. Maaf aku nggak bisa lama-lama. Aku ada urusan di kampus. Oh iya, aku bawa ini. Jangan lupa dimakan ya.” Aldi menaruh sebungkus makanan di meja samping brankar. Mengucapkan salam, kemudian pergi.
Suasana sejenak lengang. Gilang terdiam. Tak tahu apa yang mau dibicarakan.
“Lang―” seru Bima memecah hening. “―terima kasih sudah menyelamatkan Putri. Dia sudah cerita semuanya. Saya nggak tahu bagaimana jadinya kalau kamu nggak ada di sana.”
“Alhamdulillah, Bim.” Gilang tersenyum.
“Oh ya, Lang, Putri and I, we’ve broken up.” Kening Gilang mengerut. “Dia bilang dia ingin berubah, Lang. Dia ingin mencoba pakai jilbab. Dia juga ingin menjaga dirinya dari laki-laki, termasuk dari saya.” Bima tersenyum memberi jeda. Tangan kirinya menepuk pundak sahabatnya. “Kabar baiknya adalah dia minta saya untuk segera menikahinya. Asal kamu tahu, Lang, sebelumnya dia suka menghindar kalau ditanya soal pernikahan,” lanjutnya sambil terkekeh.
“Baguslah kalau begitu. Saya tunggu undangannya ya, Bim.” Gilang terdiam sejenak. “Oh ya, tolong sampaikan maaf saya ke Putri, ya. Setelah kejadian dia kemarin, seharusnya saya nggak usah banyak bicara dulu, tapi saya malah menyudutkannya. Dia pasti tersinggung.”
Bima mengangguk. “Tapi, kayaknya omonganmu malah membawa berkah buat Putri, Lang,” ucapnya sambil tertawa kecil. Dia bangun dari duduknya. Membuka bungkusan dari Aldi.
Tak sadar, Gilang terus memerhatikan sahabatnya itu. Tersenyum kecil, entah ke berapa kalinya. Baginya, Bima berubah kembali seperti dulu. Dalam semalam, Putri pun berubah. Kali ini semuanya akan terasa lebih baik.
Begitulah. Apa yang terjadi memang tidak selalu kelihatan sebagaimana adanya. Bisa jadi yang terlihat buruk malah menyembunyikan sejuta kebaikan, begitupun sebaliknya. Tugas kita cukup berbaik sangka kepada-Nya atas apapun rupa kenyataan yang dihadapi.
Alhamdulillah. Ya Allah, puji syukur ke hadirat-Mu, Ya Allah, bisik hati Gilang.
“Lang, terus kapan nih kamu kasih undangan ke saya?” tanya Bima, lagi-lagi memecah hening.
Tak ada jawaban. Gilang kini tersenyum pahit. Undangan pernikahan? Telinganya jadi sensitif mendengar kata-kata itu. Di umurnya yang genap 25 tahun bulan ini, pembicaraan soal pernikahan memang tak bisa dielakkan. Dari keluarga, kerabat, bahkan sahabat. Jika saja rencana pernikahannya yang lalu berhasil, hatinya tidak akan jengah mendengar kata-kata itu. Jika saja Alya tidak pernah merencanakan kuliah keluar negeri, mungkin kenyataan sudah sama persis seperti bayangannya.
“Entahlah. Perempuan yang ingin saya nikahi tidak membalas email saya, Bim. Mungkin saya masih lama memikirkan soal pernikahan lagi.”
“Kamu bercanda, Lang. Masa hanya karena email, pernikahanmu tertunda,” cetus Bima keheranan.
Gilang tidak terlalu menanggapi, karena Bima memang tidak tahu detail perasaannya. Alasan email itu hanya soal samaran. Sebenarnya Gilang bisa saja memikirkan pernikahan lagi. Memikirkan wanita lain. Itu semua mudah. Sangat mudah jika hati bisa diajak berlogika. Pindah ke lain hati. Tapi dia belum siap. Wajah Alya masih terbayang jelas di benaknya. Itu masalah besarnya.
Bagaimana bisa seseorang menikah sementara hatinya masih menyimpan nama orang lain?
***
London, April 2010
Sudah hampir dua bulan berlalu sejak kejadian tersesat saat itu. Alya tidak mau lagi pergi sendirian, sekalipun dia tahu jelas arah jalannya. Lagipula Nayomi juga takkan membiarkannya. Dia harus selalu menemani sahabatnya. Jika tidak bisa, maka terpaksa dia akan meminta Farren menemaninya di waktu senggang, walau dia tahu kakaknya tidak pernah nyaman pergi berduaan dengan perempuan yang belum halal baginya. Daripada Alya hilang lagi.
Bulan ini Alya dan Nayomi memasuki hari libur. Kuliah Term 2 mereka telah usai akhir bulan lalu. Ada banyak tempat yang ingin dikunjungi. Maklum setelah lulus, Alya tidak bisa kembali lagi. Berbeda dengan Nayomi yang keluarganya memang tinggal di sana. Kapanpun dia bisa saja mengelilingi Inggris, bahkan seluruh daratan Eropa.
Sekarang Nayomi sedang merapikan buku di kamarnya. Sesekali melihat jam dinding. Pukul 09.15 AM. Hari ini, dia berjanji akan menemani Alya ke British Museum. Seharusnya menyenangkan, tapi dari tadi ada yang mengganjal pikirannya. Dia teringat seorang laki-laki yang meneleponnya tadi malam selama nyaris satu jam. Semua perbincangan berhubungan dengan sahabatnya.
Pukul 10.10 AM, Alya dan Nayomi pergi menuju British Museum. Butuh sekitar setengah jam untuk sampai di sana. Dari luar tampak bangunan berwarna krem menjulang tinggi dengan beberapa tiang kokoh di depannya seolah menyambut para pengunjung menuju pintu masuk. Di ruang utama yang amat besar dengan atap transparan berpola segitiga-segitiga, banyak orang berlalu lalang. Satu per satu dari mereka memasuki ruangan lainnya. Ada banyak koleksi dari berbagai negara, mulai dari patung sampai lukisan. Antik dan indah. Karya seni dengan segala arti yang dimengerti oleh pembuatnya.