London, April – Mei 2010
Dari sebulan lebih yang lalu, pohon-pohon mulai bermekaran di daratan Inggris. Tanaman berbunga indah. Langit lebih cerah setelah musim dingin. Sejauh mata memandang, semua terasa lebih berwarna. Di musim semi ini, terlebih jika liburan, jalanan akan lebih ramai. Tempat wisata akan lebih banyak dikunjungi. Persis ketika Alya dan Nayomi mendatangi British Museum, orang-orang pun tampak bertaburan di sekitarnya. Hari ini juga masih serupa ketika Alya dan keluarga Nayomi pergi piknik ke taman Wakehurst Place. Tampak ramai orang-orang berkelompok duduk beralaskan tikar di hamparan hijau dekat Visitor Centre dan makan bersama.
Setelah Bu Diana memilih tempat, Farren menghamparkan tikar. Nayomi dan Alya membantu mengeluarkan makanan dan minuman. Sementara Pak Tomy langsung duduk di saat semua sudah siap, diikuti yang lain. Mereka makan santai sambil berbincang-bincang. Sesekali tertawa. Bahkan kali ini Alya juga ikut berbicara. Walau tak banyak, setidaknya dia tak secanggung dulu.
“Farren, how about your study? Do you really want to continue in this year?” tanya Pak Tomy di tengah-tengah perbincangan.
Suasana lengang seolah yang lain benar-benar menunggu jawaban. Farren dan Nayomi saling menoleh bertatapan. Alya tidak terlalu memerhatikan karena itu memang bukan urusannya. Kini dia malah teringat apa yang didapatnya tadi malam. Membuatnya tersenyum-senyum sendiri.
“Ada urusan lain yang harus saya selesaikan. After that, I’ll make it sure, Dad,” jawab Farren singkat. Lalu tak sengaja matanya melirik Alya yang sedang tersenyum kecil.
Selepas makan, Nayomi minta ditemani Alya untuk jalan-jalan ke sekitar Water Garden yang masih bertempat di sana. Mereka membaca petunjuk arah peta yang diberikan hingga akhirnya tiba. Melewati jalan setapak yang dikelilingi banyak tanaman dan pohon yang rindang. Alya menghirup napas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan. Segar sekali rasanya. Alhamdulillah.
“Al, belakangan ini kayaknya kamu riang banget. Sering senyum-senyum sendiri. Ah, ini ada hubungannya sama Kak Gilang, ya?” rayu Nayomi sambil terkekeh.
Alya yang tersadar bahwa dia baru saja tersenyum sendiri langsung terdiam. Menoleh ke arah sahabatnya. Menyeringai, lalu menggelengkan kepalanya. “Kenapa pikiranmu selalu Kak Gilang? Jangan-jangan…” Alya balik menggoda.
Nayomi dengan cepat menyilangkan kedua tangan di depan dadanya. Memberi tanda: Tidak mungkin! Alya yang melihatnya langsung tertawa.
Kali ini, biarlah kamu menjadi rahasia. Cukup Allah yang tahu tentangmu, Kak. Tentang kita sekarang. Tentang kita nantinya. Alya tersenyum lagi.
Ada saatnya dimana kita harus memilih untuk menutup mulut. Tidak bercerita soal hal yang masih semu terkait perasaan, tentang kisah kita. Karenanya, kita pun jadi bisa membahagiakan orang di sekitar kita. Dengan tidak membiarkan mereka tahu ketika ternyata kisah kita berakhir tak sesuai yang diharapkan. Dengan tidak membiarkan mereka iba hingga ikut terluka atas berakhirnya kisah kita. Bagi mereka yang bukan musuh dalam selimut, kabar buruk tak pernah membahagiakan. Maka, biarlah hanya Tuhan yang tahu. Pasrahkanlah semua pada-Nya.
Sekalipun nanti dunia serasa runtuh karena ketidaktercapaian, percayalah Allah Yang Maha Pengasih selalu tahu bagaimana menyembuhkan hati umat-Nya yang rapuh.
***
Dari akhir bulan April, Alya dan Nayomi sudah kembali kuliah. Memasuki Term 3 dimana mereka bersama teman seangkatannya harus mulai menyusun tesis yang akan disidangkan di bulan September tahun ini. Hempasan napas panjang tak cukup menggambarkan betapa malam akan menjadi panjang dan melelahkan karena terbangun lebih lama. Mulai sekarang mereka tidak lagi berlomba untuk menjadi paling unggul. Tak peduli bagaimana pencapaian orang lain. Yang terpenting adalah mereka sendiri. Soal bagaimana mereka mempertahankan integritas dan komitmen masing-masing. Kelulusan adalah cara pembuktiannya.
Maka seharusnya Alya pun membuang jauh-jauh pikiran tentang laki-laki yang beberapa bulan lalu mengiriminya sebuah email. Berkali-kali dia malah penasaran seperti apa balasan email selanjutnya yang akan ia terima. Hingga akhirnya dia pun menepuk jidatnya. Berusaha membuyarkan bayangan laki-laki itu.
Alya menghela napas panjang. Sedikit mengutuk keadaan.
Memang tidak setiap hari dia maupun Gilang saling membalas email. Selalu ada jeda beberapa hari di antaranya. Saat itulah tanpa sadar Alya terbiasa menunggu. Harapan semakin lama semakin tumbuh. Lembaran lama yang mengering mulai hidup kembali. Baginya, skenario ini tak pernah terduga. Apakah ini pertanda bahwa kita berjodoh?
Alya kembali menghela napas. Kesimpulan tidak pernah ada di tengah-tengah jalan cerita. Bagaimanapun akhirnya, lapangkanlah hati ini, Ya Allah, pintanya dalam hati sekali sewaktu sedang membaca ulang history emailnya dengan Gilang.
From : gilang.adhikari@gmail.com
To : alya.harsana@gmail.com
Assalamu’alaikum
Alhamdulillah, kalau begitu. InsyaAllah kuliah saya juga akan lebih baik, Alya. Saya sudah mulai penelitian. Oh ya, bagaimana di London? Betah di sana? Semoga nggak lupa sama Indonesia, hehe.