Di Antara Ribuan Jeda

Ghoziyah Haitan Rachman
Chapter #18

Penengah

Canberra, Mei 2010

Akhir bulan ini, semester 1 di Australian National University akan usai. Itu artinya Gilang sudah hampir setengah tahun tinggal di benua kangguru menempuh pendidikan doktornya. Ini masih awal. Penelitian yang dia lakukan masih pembukaan. Data-data yang dia cari dan hipotesisnya masih digunakan untuk keperluan proposal disertasi. Profesor Anderson memang sangat menyukai idenya, tapi persetujuan kelanjutan penelitiannya tetap ada pada pihak komite program doktor di kampus. Jika lulus, itu artinya program doktor masih berlanjut dengan penelitian yang sama. Jika tidak, mungkin harus ada yang diubah di proposalnya.

Sebenarnya, Gilang tidak hanya berkutat dengan penelitiannya. Selama tahun pertama, dia pun harus menempuh beberapa mata kuliah yang fundamental terkait penelitian doktornya. Nanti ada tiga mata kuliah lagi yang harus diambil di semester depan. Kini Gilang pun sedang mempertimbangkannya. Sejak sejam yang lalu, tubuhnya belum beranjak dari kursi meja belajarnya. Dia sibuk menatap layar laptop. Matanya bolak-balik membaca setiap pilihan mata kuliah yang tersisa. Sementara tangannya sesekali menulis sesuatu di buku kecilnya yang berwarna cokelat.

“Lang!” Tiba-tiba suara panggilan muncul dari arah belakang. Membuat Gilang langsung menoleh. Ia mendapati Bima menyeringai sambil duduk di atas kasur.

Lang, seemingly you should be more careful nowadays,” ucap Bima mulai serius. Gilang belum merespons, tapi posisi duduknya sudah berubah. Menghadap ke sahabatnya. “Kemarin ada polisi datang, pas kamu belum pulang. Mereka polisi yang menangkap orang-orang yang dulu mengganggu Putri, Lang. Setelah diselidiki, ternyata orang-orang itu bukan berandalan biasa. Mereka adalah kurir narkoba yang selama ini mereka cari. Dan, kemungkinan besar―” Bima berhenti sejenak. Menghela napas panjang. “―orang yang memukul kepalamu dengan botol kaca adalah teman mereka. Sampai sekarang polisi masih mengusut mereka juga. Belum ada hasil positif, Lang.”

Gilang terdiam. Telinganya masih ingin mendengarkan.

“Kata polisi kemarin, kalau saja kasus ini tidak ada hubungannya dengan narkoba, dampaknya tidak akan terlalu besar. Tapi, kejadian Putri dulu malah menjadi kunci awal untuk menelusuri rantai jual beli narkoba karena kamu berhasil membuat beberapa kurir narkobanya tertangkap. Mereka―”

“Langsung intinya saja, Bim.” Gilang mendadak memotong penjelasan sahabatnya. Kali ini raut wajahnya berubah. Ada perasaan tidak enak yang mulai bersemayam. Astaghfirullah.

Bima menghirup napas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan. Mencoba menenangkan diri. “Lang, mereka yang dulu menyerangmu bisa jadi akan menyerangmu lagi. Kali ini, mungkin mereka tidak hanya akan melukaimu. Polisi bilang, nyawamu... sedang terancam, Lang,” ujar Bima diakhiri sedikit ragu.

Jantung Gilang seolah terhenti sejenak. Pernyataan terakhir itu membuatnya tercekat. Tak pernah terpikirkan olehnya soal ketakutan seperti ini. Nyawa yang terancam? Ya Allah, lindungi hamba Ya Allah.

Bim, please don’t tell the others about this matter. Cukup kita saja yang tahu,” ucap Gilang bersuara pelan dengan pikirannya yang sudah menjelajah ke mana-mana.

Hari-hari pun berlalu, malam terasa lebih panjang. Gilang memutuskan untuk lebih rajin shalat tahajud. Berkali-kali dia memohon kepada Sang Pencipta agar dihilangkan ketakutan yang sedang bersemayam dalam dirinya. Dia juga menyesal sekali bahwa dari seluruh waktu yang pernah dilewati, baru kali ini dia benar-benar memikirkan soal nyawa, soal kematian. Bagaimana jika kematian memang lebih dekat daripada rencana beberapa tahun ke depan atau bahkan beberapa hari ke depan? Gilang pun menangis hingga tersedu-sedu. Memohon ampun atas dirinya yang terlalu optimis atas semua rencananya di dunia.

Astaghfirullah. Astaghfirullah. Ya Allah, ampunilah hamba-Mu yang lemah ini, lirihnya di penghujung doa.

Kita―mungkin hanya beberapa―memang suka begitu. Suka sekali merencanakan kehidupan di dunia hingga lupa untuk akhirat. Suka sekali lupa atas kematian yang bisa kapan saja merenggut nyawa kita. Lantas apa persiapan kita, jika kita saja terlalu sibuk mengurus kehidupan dunia ini. Sungguh semoga ketakutan soal kematian yang kita takuti pun bukan karena akan meninggalkan dunia, melainkan karena khawatir apakah amal kita sudah cukup mengantarkan kita meraih surga-Nya. Maka, selalu memohonlah kepada Allah  Yang Maha Pengampun atas hidayah-Nya yang tiada henti.

Ya Allah.

 

***

 

Tepat seminggu setelah kabar itu, akhirnya ketakutan Gilang mereda. Hatinya sudah teramat pasrah kepada-Nya. Dia yakin sekalipun ada seribu orang ingin menyakitinya, tapi jika tak ada izin-Nya, maka dia tak akan pernah tersakiti. Sama seperti sebelumnya hingga seterusnya, dia hanya perlu berdoa dan berikhtiar. Berdoa agar dia selalu dalam lindungan-Nya. Berikhtiar dengan selalu berada di dekat orang-orang yang ia kenal.

Hari ini Gilang pun mulai teringat sesuatu yang kemarin-kemarin terabaikan. Menjelang malam, dia baru membuka lagi email pribadinya. Dugaannya benar. Email sebelumnya telah dibalas. Kini, balasan email dengan nama ‘Alya Harsana’ itu berbaris di urutan paling atas. Membuat Gilang tersenyum tanpa sadar.

Kalau Kak Gilang sendiri, berapa tahun doktornya? 4 tahun kah?

Gilang menghela napas panjang setelah membacanya. Lalu tak butuh waktu lama dia pun membalasnya.

 

Lihat selengkapnya