Bandung, Juni 2010
Salah satu acara sakral yang akan membuat keluarga bahagia sekaligus bersedih adalah pernikahan. Ketika sang mempelai pria mengucapkan ijab kabul. Ketika jantung sang mempelai wanita berdebar lebih kencang dari biasanya. Ketika keduanya ingin cepat-cepat selesai mengikrarkan janji suci. Ketika itu pun ada yang merasa sesak karena akan ditinggalkan, sekaligus bersyukur atas bersatunya cinta yang menjadi halal. Perlahan satu per satu yang menjadi saksi akan tersenyum. Mata mereka berkaca-kaca. Terharu.
Detik ini Gilang sudah menjadi salah satu yang merasakan sesak itu. Memandang kakak keduanya mengucapkan ijab kabul dengan gugup. Matanya berkaca-kaca. Sekuat tenaga ia bendung air matanya agar tidak terjatuh.
“Saya deg-degan, Kar. Kenapa saya jadi khawatir ya, padahal sebentar lagi ijab kabul. Mohon doanya yang kuat ya, Kar. Biar saya nggak gagap nanti.”
Ucapan Pratama beberapa saat sebelum akad nikahnya dimulai kembali terngiang di benak Gilang. Dia ingat betul bagaimana raut wajah kakaknya itu ditambah keringat panik yang mengucur di dahinya. Seolah ada ketakutan yang memang tak bisa dideskripsikan. Tapi kini semua berubah setelah orang-orang menyatakan ‘Sah!’. Pratama tersenyum paling bahagia. Wajahnya berseri sambil memasangkan cincin ke jari manis istrinya, Annisa.
Alhamdulillah. Dengan refleks, Gilang ikut tersenyum melihatnya.
Semoga Allah selalu memberikan rahmat-Nya untuk keluargamu, Tama, doanya dalam hati. Aamiin.
Resepsi pernikahan berlangsung satu jam kemudian. Diawali dengan tarian adat Sunda. Lalu kedua mempelai bak ratu dan raja duduk di atas singgasana pelaminan. Tamu-tamu undangan mulai berdatangan. Bersalaman dengan kedua mempelai hingga akhirnya memutuskan untuk makan. Sepanjang acara, lagu-lagu cinta pun mengalun indah memanjakan telinga.
Dari dulu, Gilang tidak terlalu suka keramaian. Maka saat ini dia memilih untuk duduk menyendiri di salah satu kursi luar gedung sembari makan puding. Sesekali angin berhembus menyegarkan. Tak lama seorang laki-laki berjas hitam dan berkacamata menghampiri lantas duduk di sampingnya.
“Biasanya, kalau yang single hadir di pernikahan, mereka suka langsung galau, ya. Benar nggak, Kar?” canda orang itu yang ternyata adalah Pandu.
Gilang berdeham sejenak. Menggelengkan kepalanya. Tidak setuju dengan pernyataan kakak pertamanya.
Pandu tertawa kecil melihat reaksi adiknya. “Oh iya, tadi saya lihat ada souvenir spesial untuk 100 tamu undangan pertama. Saya minta satu. Baca ya, Kar. Kayaknya cocok buat kamu,” ujar pria itu sambil menyodorkan sebuah buku berjudul ‘Kita di Suatu Waktu’ yang ditulis oleh Annisa Khayra. Lalu dia pergi lagi ke dalam menghampiri istrinya yang tengah hamil muda.
Oh, tulisan istrinya Tama, gumam Gilang. Tangannya membalikkan buku itu. Matanya terpaku pada kata-kata di bagian sampul belakang.
Jika sebenarnya kamu sudah siap, lalu apa yang membuatmu menunggu? Sementara setelah menikah, agama kita menjadi sempurna. Sementara setelah menikah, kita tak harus gelisah karena saling merindu di setiap malam. Kamu bisa bebas memandang mataku, menggenggam tanganku, memelukku erat. Begitupun aku kepadamu. Itu semua bahkan bisa menjadi pahala bagi kita.
Jika karena mimpi dunia yang membuatmu menunggu, maka maafkan aku atas ketidaksabaran untuk menunggumu kembali. Karena cinta tetaplah bukan satu-satunya alasan agar seseorang mau menunggu.