London, Juni 2010
“Al, aku sudah tahu rencana Bang Farren sejak lama. I’m sorry for not telling you. I just don’t wanna ruin his plan.” Nayomi berhenti sejenak. “Aku nggak tahu sebenarnya bagaimana perasaanmu sekarang kepada Kak Gilang, Al. Tapi, aku mohon, walaupun perasaan kamu ternyata masih teramat besar untuknya, tetaplah pertimbangkan Bang Farren ya, Al. Shalat istikharah saja dulu. Apapun jawabannya nanti, terserah padamu. Aku memang berharap besar kamu mau menerimanya, tapi aku tak bisa memaksakan kehendak, bukan? Kalau ternyata jawabannya adalah tidak setelah kamu shalat istikharah, InsyaAllah itu memang yang terbaik buat kamu dan Bang Farren, Al.” Alya hanya terdiam mendengar pernyataan itu. “Al, thanks for opening my brother’s heart again. You’re awesome,” tambah Nayomi sambil tersenyum.
Alya, yang baru saja selesai shalat istikharah, menatap lurus ke depan sambil menyandarkan tubuhnya yang masih berbalut mukena ke penopang samping kasur. Dia teringat ucapan sahabatnya sehabis pulang dari Paris beberapa hari lalu.
Bagaimana ini, Ya Allah? Alya menghela napas panjang. Bahkan sampai saat ini belum terbayang Kak Farren sama sekali. Belum ada perasaan apapun. Bagaimana bisa menerima seseorang sementara hati ini malah mengharapkan orang lain? Ya Allah Yang Maha Pembolak Balik Hati, kumohon petunjuk-Mu, Ya Allah.
Kini kepalanya tertunduk. Dia memeluk kedua kakinya yang dirapatkan ke dada. Wajahnya ikut dibenamkan ke dekapannya itu. Tak lama sebagian hatinya mulai berbisik. Bagaimana jika selama ini Kak Gilang bukan jodohmu, Al? Bagaimana jika yang selama ini kamu harapkan nyatanya adalah jodohnya orang lain? Sebagian lainnya membantah. Kamu jangan gegabah menerima Kak Farren, Al. Bagaimana jika selama ini Kak Gilang sedang menyiapkan pernikahan kalian? Sementara Kak Farren hanyalah pengalih atau bahkan ujian bagimu.
Tanpa sadar air mata perlahan membasahi pipi. Alya menangis dalam hening mendapati hatinya saling berpraduga. Sebab perkara ini memang tidaklah mudah. Siapapun yang terpilih akan mengikat erat masa depannya. Seseorang yang ditakdirkan itu akan mempengaruhi sisa perjalanan dalam kehidupan ini. Sebab dengan siapa kita menikah, maka dengan dia pula kita akan menghabiskan waktu bersama selamanya hingga kematian menjemput, InsyaAllah. Namun, sayangnya yang terpilih tak selamanya yang kita sukai. Yang terpilih tak selalu yang kita pilih.
Maka kini, satu hal yang sangat Alya sesalkan adalah dia telah menyukai orang lain lebih dulu sebelum menikah. Hatinya telah mantap memilih sebelum waktunya.
Ya Allah, lepaskanlah perasaan ini.
Tangis Alya pun kian menjadi.
Ketika malam semakin gelap dengan bintang-bintang yang bergelantungan di langit semenanjung Eropa. Ketika kebanyakan orang sudah tertidur lelap. Ketika Alya masih menangis bersimpuh kepada Sang Pencipta. Di salah satu apartemen kota London, seorang laki-laki sedang bersimpuh sujud kepada-Nya. Dialah Farren yang ingin segera menyempurnakan agamanya. Dia berharap agar pilihannya tidak keliru. Memohon agar Engkau meridhoi setiap langkahnya. Diakhiri dengan keyakinan bahwa apapun yang Allah kehendaki adalah yang terbaik baginya.
Beberapa menit kemudian, tangis Alya mereda sedangkan Farren di tempatnya memutuskan untuk tidur. Keduanya merasakan ketenangan setelah bersimpuh khusuk kepada Sang Pencipta. Di saat Farren mulai terlelap, Alya menarik kursi meja belajarnya lalu mendudukinya. Membuka laptop. Entah kenapa ingin sekali mengecek email. Alhasil, hatinya yang tenang kembali sesak setelah mendapati hanya ada balasan email dari sahabat lamanya. Kak Gilang baik-baik saja kan?
Tak lama Alya membuka email atas nama ‘Anna Putri Islami’, lalu membaca isinya baik-baik.
Benar banget. Jangan sampai terlalu suka apalagi berharap. Makasih ya, Ya, nasihatnya. Oh iya, sewaktu makan bersama, dia cerita kalau dia lulusan Telkom loh, Ya. Katanya angkatan 2003. Kakak kelas dua tahun di atas kamu berarti, Ya, kayanya. Kalau kamu kenal kasih tahu ya orangnya gimana. Namanya, Gilang. …
Mendadak jantung Alya seolah terhenti. Kata terakhir itu. Nama itu. Seketika membuat napasnya menjadi berat. Gilang?
… Apa ya kepanjangannya. Gilang Adhikara, kalau nggak salah, Ya. …
Gilang Adhikari, gumam Alya membenarkan. Kak Gilang?
Yang membaca berhenti sejenak. Pandangannya mulai buram. Matanya berkaca-kaca. Wajahnya terasa hangat. Jantungnya kini berdegup lebih kencang.
… Hm, waktu itu sih aku tanya, “Kenal Alya Harsana?” Dia bilang, “Kenal.” Hehe, mohon kabarnya ya, Ya, kalau memang kamu juga kenal. Soalnya, walaupun aku lihat dia baik, aku tetap nggak tahu banyak soal dia. …
Ujungnya, air mata tetap tumpah membasahi pipi bahkan sampai mengenai mukena yang masih dipakainya. Untuk kedua kalinya, malam ini Alya menangis. Kepalanya pun menunduk sebentar. Ia pejamkan matanya yang basah. Sementara tangan kanannya menepuk pelan dadanya. Astaghfirullah. Astaghfirullah. Mengapa rasanya teramat sesak, Ya Allah?