Di Antara Ribuan Jeda

Ghoziyah Haitan Rachman
Chapter #23

Sehadapan

Canberra, Juli 2010

Pukul 10.05 AM.

Bandara Canberra kedatangan pesawat qantas dari Melbourne di gerbang 11. Beberapa penumpangnya adalah yang transit dan pindah dari pesawat garuda asal Indonesia. Kini mereka semua berjalan keluar melalui pintu gerbang kedatangan. Segerombolan orang yang memegang kertas bertuliskan nama penumpang yang hendak dijemput sudah siap menyambut mereka. Satu per satu pun pergi. Sementara seorang laki-laki yang berambut sekitar satu sentimeter dan berjaket cokelat baru saja keluar dengan tas ransel di punggungnya dan satu koper kecil yang ditenteng tangan kirinya. Dia terus berjalan sambil merapatkan ponsel ke telinga kanannya.

“Lang, sebentar lagi saya sampai. Please wait at the airport cafe, ya.”

Tak sampai 15 menit, pria berkacamata yang mengenakan kaos polo hitam pun muncul di hadapan Gilang mendahului makanan pesanannya.

Lang, we need to wait until an hour to go home. Is that okay?” Gilang belum merespons. “Do you remember Akbar? Beberapa hari lalu, dia memberi tahu mau ke sini. Dan nanti sekitar jam 11 pesawatnya akan tiba,” lanjut Bima sembari melihat-lihat menu makanan.

“Wah, akhirnya. Dia mulai―” Belum selesai Gilang berucap, tiba-tiba suara dering ponsel memotongnya.

“Lang, tolong pesankan makanan yang kamu pesan ya. Ibunya Akbar calling nih.” Bima buru-buru menjauh ke tempat yang tidak ramai. Meninggalkan sahabatnya yang belum selesai bertanya.

Dia mulai kuliah doktor semester ini?

 

***

 

Pukul 11.05 AM. Bandara Canberra kedatangan pesawat airways dari Sydney di gerbang 14. Kebanyakan penumpangnya adalah yang transit dari Abu Dhabi. Kini mereka semua berjalan keluar melalui pintu gerbang kedatangan. Segerombolan orang yang memegang kertas bertuliskan nama penumpang yang hendak dijemput sudah siap menyambut mereka. Satu per satu pun pergi. Sementara seorang laki-laki yang berambut sedikit pirang dan berkemeja biru baru saja keluar dengan tas ransel di punggungnya dan satu koper kecil yang ditenteng tangan kirinya. Dia terus berjalan lalu berhenti di dekat salah satu toilet. Tak lama tangannya mengeluarkan ponsel.

Assalamu’alaikum, Bima. I’ve arrived. Where are you?

“Tuk Chop. Airport cafe.” Balasan itu terdengar dari seberang sana.

Seusai menelepon, pria berkemeja biru itu masih berdiri di tempat yang sama. Sepertinya dia sedang menunggu seseorang.

 

***

 

Lihat selengkapnya