Canberra, Juli 2010
Menjadi pembicara bukanlah hal yang mudah bagi Alya. Sejak kecil dia tidak suka berbicara atau tampil di depan umum. Dia takut salah dan lebih takut lagi ketika orang-orang tak mengerti apa yang dia ucapkan. Karenanya, dia selalu berusaha keras menghindari hal apapun yang bisa menyeretnya menjadi pembicara. Namun, lingkungan benar-benar tidak berpihak kepadanya. Sewaktu pelepasan SD dan SMP, dia malah terpilih membaca Al-Qur’an dan puisi perpisahan di depan teman satu angkatannya. Sewaktu kuliah S1, dia terjebak dalam kegiatan-kegiatan bela negara yang malah membuatnya banyak bicara di depan umum. Dan sekarang, dengan gagah berani Alya pun harus menjadi pembicara dalam sebuah konferensi menggantikan pembimbingnya, Profesor Nathan.
“Good morning. My name is Alya Harsana. I’m here to represent Profesor Nathan who is unable to attend due to an important matter in other place. As planned, I’d like to talk about ‘Corporate Strategy in Business Management’,” ucap Alya sambil tersenyum menyimpul lesung pipit saat pengenalan para pembicara.
“Michael Porter stated that corporate strategy concerns two different questions: what businesses the corporation should be in and how the corporate office should manage the array of business units. Corporate strategy is what makes the corporate whole add up to more than the sum of its business unit parts...”
Selama 30 menit, Alya yang mengenakan jas cokelat dan rok hitam semata kaki tak berhenti bercakap soal ‘Corporate Strategy in Business Management’. Sebagian besar isinya tentu sudah diarahkan Profesor Nathan sebelumnya. Para hadirin pun memerhatikan dengan begitu saksama. Ada beberapa dari mereka yang sesekali mencatat. Mungkin, mereka sedang menuliskan pertanyaan. Sedangkan beberapa profesor yang duduk di kursi barisan depan mengangguk-angguk. Ada juga yang sesekali mengerutkan dahi.
“Right now, you all can ask me some questions relating to this topic. Thank you,” ujar Alya di penghujung waktu presentasinya.
Tak lama beberapa orang mengangkat tangan kanannya tidak terlalu tinggi. Lalu satu per satu mengajukan pertanyaan. Alya langsung menjawabnya dengan lugas. Semua kata-kata yang dilontarkannya begitu jelas. Yang tadinya bertanya merasa puas, lalu mengangguk sendiri.
Hampir setengah jam kemudian, sesi pertanyaan ditutup. Dilanjutkan dengan sesi pembicara yang lain. Pukul 04.30 PM, konferensi pun selesai. Sebelum keluar aula, Alya sempat berbicara sebentar dengan beberapa profesor. Hingga akhirnya mereka saling berpamitan pergi.
“Thank you so much. Good bye.”
Sembari melihat layar ponsel, Alya tersenyum-senyum sendirian di depan pintu utama National Convention Centre Canberra. Hatinya tak berhenti mengucap syukur. Alhamdulillah. Alhamdulillah. Menjadi pembicara menggantikan seorang profesor adalah salah satu yang tak pernah terpikirkan olehnya. Apalagi berbicara dengan beberapa profesor seperti tadi. Baginya, hal ini sangatlah luar biasa. Membuatnya semakin percaya diri untuk berbicara di depan umum.
Maka, atas semua kesanggupan yang telah diberikan Allah kepada kita, semoga hati kita tetap membumi. Menyadari betul bahwa apa-apa yang kita bisa lakukan adalah karena karunia-Nya semata. Allah Yang Maha Baik.
Beberapa menit kemudian, Alya yang baru saja mengenakan jaket tebal melangkahkan kakinya menuju Commonwealth Park yang jaraknya hanya sekitar satu kilometer dari tempat konferensi. Saat ini musim dingin sedang melingkupi benua kangguru. Suhunya sekitar 6 derajat celcius. Alya pun kembali merapatkan jaketnya. Kini kedua tangannya bersedekap di dada.
***
Sesuai rencana awal, Farren harus menemui calon promotor untuk disertasinya dan mengurus beberapa hal di Australian National University berkaitan dengan penundaan kuliah yang seharusnya dimulai pertengahan tahun ini menjadi tahun depan. Gilang pun menemaninya karena Bima ada urusan sejak tadi pagi, sementara Aldi, John, dan Flyn jelas-jelas belum pulang dari liburan semester. Gilang berdecak. Hatinya hanya bisa berharap Bima menepati janjinya untuk menyusul ke lokasi konferensi yang dihadiri Alya.
“Gilang, thank you ya for helping me today,” ucap Farren sambil tersenyum sesaat setelah masuk kembali ke mobil yang telah disewa Bima kemarin.
“You’re welcome.” Gilang pun duduk di jok depan sebelah Farren.
Tak lama mobil melesat ke jalanan melewati Kingsley Street. Farren yang sudah memiliki surat izin mengemudi internasional langsung melajukan mobil itu menuju National Convention Centre Canberra yang hanya berjarak sekitar dua kilometer dari kampus. Mereka akan menjemput Alya sekaligus Bima yang katanya mau menyusul ke sana. Tak sampai 10 menit, mereka akhirnya sampai. Gilang meminta izin pergi sebentar ke Commonwealth Park, sedangkan Farren mencari Alya ke dalam gedung konferensi.
Gilang pun melewati jalan setapak yang dikelilingi banyak tanaman dan pohon yang rindang. Sekali kepalanya mendongak. Terlihat langit sore ini begitu teduh dengan gumpalan awan bak jutaan kapas lembut yang mengudara. Sembari merapatkan jaketnya, Gilang menghirup napas panjang lalu menghembuskannya perlahan.
Semoga saja Bima cepat datang, bisiknya dalam hati.
Laki-laki berjaket cokelat itu memang berniat untuk kembali jika sahabatnya sudah datang. Sebab sejatinya dia masih belum siap terdiam canggung sendirian ketika Farren dan Alya malah asik berbicara berdua. Hatinya yang mulai rela melepaskan tetaplah tidak setegar batu karang. Gilang menghela napas panjang lagi. Bahkan sebenarnya, dengan atau tanpa Bima, dia ingin sekali mencari seribu alasan untuk tidak ikut makan malam bersama. Sebab dia khawatir, berhadapan dengan Alya lebih lama membuat hatinya sulit terjaga. Astaghfirullah.
Beberapa menit kemudian, sebagian kecil dari danau buatan yang bernama Lake Burley Griffin membentang indah di depan mata. Commonwealth Park yang tadi dilewati memang berada di salah satu sisi danau ini. Menurut Gilang yang baru dua kali ke sini, keterpaduan keduanya membuat jantung kota ini terasa sempurna. Seolah sengaja dibangun untuk melepas penat dari hiruk pikuk aktivitas sehari-hari. Namun musim dingin membuat pengunjungnya berkurang. Seperti sekarang, hanya tampak beberapa orang sedang berjalan dan terduduk di kursi pinggir danau.
Gilang pun tersenyum. Matanya menjelajah sekeliling mencari kursi kosong, tapi pandangannya malah berakhir pada seorang perempuan yang baru bangkit dari duduknya. Perempuan berambut panjang yang diikat satu. Yang mengenakan jaket tebal dan rok hitam semata kaki. Yang menggendong tas ransel di punggungnya. Tanpa sadar dia terus memerhatikan perempuan itu dari kejauhan.
Sesekali angin berhembus membelai anak rambut.