Canberra, Juli 2010
Masih di hari yang sama dimana malam semakin larut.
Nyaris setengah jam berlalu sejak Gilang sampai di halte Novar St Yarralumla Shops. Pukul 07.55 PM, akhirnya bus datang juga. Setelah dia dan beberapa penumpang masuk, bus melesat ke jalan Schlich St. Tidak sampai 10 menit, kendaraan panjang berwarna dominan oranye itu sampai di perhentian. Gilang pun turun lalu berjalan menuju halte Commonwealth Av seberang Albert Hall untuk menaiki bus tujuan berikutnya.
Selama perjalanan kali ini, Gilang menyandarkan kepalanya pada jendela bus di sampingnya. Kedua tangannya bersedekap di dada. Matanya memandang ke luar jendela. Jalan raya terlihat sepi. Pejalan kaki juga sangat jarang seiring dengan langit yang semakin gelap.
Gilang menghela napas panjang.
Dari jutaan tempat di bumi, dari jauhnya jarak ribuan kilometer, nyatanya kita dipertemukan oleh-Nya di kota ini, Al. Persimpangan jalan itu rupanya adalah Canberra. Dan sepertinya ini adalah persimpangan terakhir kita. Sekalipun kita bertemu lagi nanti, saya yakin kita tidak akan saling mencari sebab kita sudah menemukan pelabuhan masing-masing.
Selamat tinggal. Kenangan indah janganlah diingat-ingat lagi. Tahanlah hati sekuat tenaga agar tidak suka merangkai harapan atas masa lalu. Lantas sambutlah hati yang lebih pasrah kepada-Nya. Percayalah, kepasrahan ini akan membawa kita pada skenario paling indah.
Seuntai senyuman pun menghiasi wajah Gilang. Mulai sekarang hatinya akan lebih tegar, setegar batu karang.
Setengah jam kemudian, bus tiba di halte Comrie St. Gilang turun sendirian. Dia harus naik bus berbeda menuju halte dekat rumahnya. Hampir satu jam dia pun menunggu. Dia yakin seharusnya bus masih beroperasi, namun entah kenapa tak ada satu pun yang datang, bahkan tak ada kendaraan lain yang lewat. Jalanan benar-benar sepi. Ditambah ponselnya mati karena habis baterai. Ya Allah. Ujungnya dia terpaksa berjalan kaki mengikuti jalur bis. Berharap ada taksi yang melintas atau seseorang yang mau meminjamkan ponselnya.
Ketika sudah jam sembilan malam dan udara semakin dingin menusuk kulit. Ketika langit membiru nila pekat. Ketika Gilang mulai lelah melangkah. Ketika itulah mendadak seakan ada benda jatuh dari langit menghantam kepalanya. Membuatnya hampir roboh ke tanah, tapi kedua tangannya berhasil menopang tubuhnya. Dalam sekejap kepalanya terasa berdenyut ngilu.
Astaghfirullah.
Belum sempat mengelus kepalanya, tiba-tiba Gilang diseret ke sebuah gang tepat beberapa langkah di belakangnya. Dua orang pemuda menggenggam erat kedua tangannya. Kemudian satu orang laki-laki lagi muncul di hadapannya, membuat jantungnya berdegup tidak karuan. Orang itu berbadan besar. Berjaket gelap dengan celana jeans sobek-sobek. Firasat Gilang kian memburuk sewaktu sadar bahwa mereka semua berbau alkohol. Dia pun memberontak.
“WHO ARE YOU?” teriaknya.
Dalam hitungan detik, bukan jawaban yang diterima Gilang, melainkan satu pukulan tinju melayang ke pipi kirinya dengan mulus. Rasanya perih.
Ya Allah. Lindungilah hamba, Ya Allah.
Satu helaan napas, pukulan berikutnya mendarat di pipi kanannya. Mereka semua tertawa, sementara Gilang hanya meringis kesakitan. Tak berdaya membalas.
“We’re gonna kill you mate!” Mereka tertawa lagi. Orang yang berbadan besar tak hentinya melayangkan tinjuan ke bagian manapun. Gilang benar-benar lemas. Perutnya bertubi-tubi dipukul. Wajahnya biru-biru sampai terluka, bibirnya lebam bahkan mulutnya sudah mengeluarkan darah. Sakit sekali. Tubuhnya seperti patah-patah.
Ya Allah. Ya Allah, tolonglah hamba.
“You have exposed our identity as drugs courier.” Orang yang berbadan besar mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. “Finally we have chance to kill you!” Senjata pistol diarahkan mantap ke dada korban. Namun entah kekuatan dari mana, Gilang berhasil menghindar ketika peluru ditembakkan. Bahkan dia berhasil terlepas dari genggaman.
Napas Gilang semakin terengah-engah. Dadanya terasa sesak. Pandangannya mulai buram. Tanpa rasa kasihan, orang yang berbadan besar menendang perutnya. Dua orang yang tadi memegang tangannya pun ikut menendang di bagian lainnya hingga jatuh tersungkur. Kali ini tubuhnya benar-benar tergeletak di atas tanah, tak berdaya. Dia merasa kematian seolah dekat dengannya.
Ya Allah, Laailaahaillallah.
Air mata perlahan membasahi pipi, bercampur dengan darah. Gilang menangis tenggelam dalam tawa puas tiga orang berandalan itu. Lukanya memang perih, sakit bukan main sekujur tubuhnya. Tapi kini jiwanya lebih terluka lagi. Amat menyesal kenapa kemarin-kemarin dirinya tidak disibukkan dengan bertaubat.
Bagaimana jika kematian memang lebih dekat daripada rencana beberapa tahun ke depan atau bahkan beberapa hari ke depan?
Gumamannya yang telah lalu seketika menggema dalam benaknya.
Ya Allah, ampuni hamba-Mu ini. Ya Allah. Astaghfirullah. Laailaahaillallah.
Orang yang berbadan besar kembali mengarahkan pistolnya, sedangkan Gilang terbujur kaku seperti batu. Dengan hati yang tak henti-henti menyebut nama-Nya dan memohon ampun kepada-Nya, dia pejamkan matanya. Pasrah. Jika memang beberapa detik kemudian malaikat maut mencabut nyawanya, dia hanya bisa berdoa semoga dia meninggal dalam keadaan husnul khotimah[1].
Satu. Dua. Suara tembakan terdengar menembus udara. Begitu menghentak telinga. Gilang membuka matanya perlahan. Jantungnya berdegup kian cepat, sementara napasnya melemah. Untuk kedua kalinya, peluru tidak berhasil bersarang di tubuhnya. Alhamdulillah.
Seseorang entah dari mana tiba-tiba datang hendak merebut pistol itu hingga akhirnya peluru tertembak ke arah tidak jelas. Tidak terkena siapapun.
Bi...ma? Al...di?
Gilang tak bisa melihatnya jelas, sebab pandangannya semakin lama semakin buram. Malam yang gelap semakin gelap. Dalam hitungan detik, baginya dunia pun menghitam. Sekarang matanya sempurna tertutup.
“DO YOU WANNA DIE?” Si orang berbadan besar berteriak. Dia mengamuk marah.