Canberra, Juli 2010
Pukul 08.30 AM.
Bandara Canberra kedatangan pesawat qantas dari Melbourne di gerbang 11. Beberapa penumpangnya adalah yang transit dan pindah dari pesawat garuda asal Indonesia. Kini mereka semua berjalan keluar melalui pintu gerbang kedatangan. Segerombolan orang yang memegang kertas bertuliskan nama penumpang yang hendak dijemput sudah siap menyambut mereka. Satu per satu pun pergi. Begitu juga dengan kedua orangtua Gilang yang dijemput oleh Bima sendirian.
Mobil sewaan yang dikemudikan laki-laki berambut ikal itu pun langsung meluncur ke Canberra Hospital. Sepanjang perjalanan dia diserbu banyak pertanyaan dari Bu Rita dan Pak Andri. Alhasil, dia terpaksa menceritakan semuanya, dari kejadian kepala Gilang dilempar botol kaca hingga pingsan sampai soal dugaannya terkait kasus kurir narkoba yang beberapa bulan lalu mulai menghantui kehidupan sahabatnya tersebut. Sebenarnya, Bima ingat betul bahwa Gilang memintanya untuk tidak memberitahukan hal ini kepada siapa-siapa. Namun, kali ini rasanya tidak boleh ada yang disembunyikan dari keluarganya.
Sekitar setengah jam kemudian, mereka tiba di rumah sakit. Bima menuntun Bu Rita dan Pak Andri ke ruang ICU tempat Gilang dirawat. Karena hanya dua pengunjung yang diizinkan masuk, Bima pun menunggu di luar.
Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un[1], lirih Bu Rita.
Seketika beliau menangis tanpa suara, melihat anak bungsunya yang terbaring lemah tak berdaya. Air matanya terus mengalir membasahi pipi. Sungguh hatinya sakit seperti diiris-iris. Benci bukan main terhadap siapapun yang telah melukai anaknya itu. Pak Andri yang kini berwajah padam pun mendekap erat istrinya sembari mengusap-usap lembut punggungnya. Tak lama air matanya yang dari tadi terbendung ikut jatuh. Setelah sekian lama, akhirnya benteng beliau hancur. Sungguh sekarang hatinya tak berhenti menyebut nama-Nya. Ya Allah.
Bu Rita menatap anaknya yang masih terpejam lekat-lekat. Wajah Gilang penuh memar. Hidung dan mulutnya ditutup masker transparan yang terhubung dengan tabung oksigen. Tubuhnya banyak dibalut perban. Bahkan katanya, beberapa tulang bagian perut dan belakang retak. Mendapati itu semua membuat Bu Rita tidak bisa berhenti menangis. Beliau seperti merasakan apa yang anaknya rasakan. Sakit, amat terluka jiwa dan raganya.
“Gilang sayang, Ibu sudah di sini,” ucap Bu Rita dengan suara bergetar. Tangannya membelai lembut kepala anaknya. Sedangkan Pak Andri memegang tangan anaknya yang dingin. Berdoa kuat-kuat dalam hati, semoga Gilang segera sadarkan diri.
Sementara itu, Bima duduk terdiam di kursi depan ruang ICU. Dari kejauhan terlihat Aldi berjalan mendekatinya.
“How’s Farren?” tanya Bima lemas.
Aldi menggelengkan kepalanya. Raut wajahnya muram.
“Bagaimana Gilang? Sudah sadar lagi? Orangtuanya mana?” Giliran Aldi yang bertanya.
“Saya nggak tahu, Di. Dari tadi saya menunggu di sini. Alhamdulillah, mereka sudah di dalam.”
Suasana lengang hingga tiba-tiba Bu Rita dengan mata yang masih sembab keluar lalu mengajak Bima berbicara berdua saja. Rupanya, beliau meminta tolong untuk mencari tahu prosedur pengunduran diri bagi mahasiswa doktor di Australian National University. Entah apa yang ada di benak beliau. Mendadak firasat Bima tidak enak. Seketika dia jadi menyesal menceritakan semuanya.
Setelah hampir dua jam berlalu, akhirnya Gilang kembali sadar. Kali ini adalah Bu Rita dan Pak Andri yang dilihatnya pertama kali. Alhamdulillah. Alhamdulillah. Bu Rita tak henti-henti bersyukur kepada Sang Pencipta, begitu juga dengan Pak Andri. Mereka berdua akhirnya tersenyum setelah sekian lama wajahnya padam.