Di Antara Ribuan Jeda

Ghoziyah Haitan Rachman
Chapter #27

Pemulihan

Bandung, Agustus – September 2010

Sejauh apapun merantau ke penjuru dunia yang paling indah, rumah tetaplah tempat paling nyaman untuk ditinggali. Tempat paling ajaib untuk menyembuhkan luka. Sebab disana ada keluarga yang tidak akan pernah tergantikan. Ada suasana yang selalu menghangatkan hingga membuat lupa. Gilang pun merasakannya setiap kali pulang ke Indonesia. Lelahnya kuliah doktor, resahnya atas rencana ke depan, apapun masalah yang ada di tempat rantaunya, semua itu nyaris terlupakan oleh kehadiran keluarga. Namun kali ini rumah tidak lagi ajaib baginya. Walau tiga minggu telah berlalu―puasa Ramadhan sudah berjalan beberapa hari― tragedi mengerikan itu masih sangat membekas di ingatannya. Membuatnya trauma.

Seperti saat ini.

Sejak beberapa menit lalu, Gilang terbangun dari tidur siangnya. Dia langsung meringis kesakitan di bagian perutnya seolah sedang ditinju tanpa henti. Dadanya juga terasa amat sesak. Napasnya berat. Ya Allah. Keringat dingin mulai bercucuran membasahi dahinya. Tangannya yang gemetar terus memegang erat perutnya. Sementara otaknya tak berhenti memutar ulang tragedi mengerikan itu. Setiap pukulan, tendangan, biar hanya dalam ilusi, tapi seolah nyata melayang ke tubuhnya. Bahkan tawa segerombolan laki-laki itu bak menggema di kamarnya.

“We’re gonna kill you mate!”

Ya Allah. Gilang mencoba bangkit dari kasurnya, tapi tak lama ia malah terjatuh. Lengan kirinya pun terbentur lantai duluan.

Dalam hitungan detik, Bu Rita muncul dari balik pintu. “Astaghfirullah, Gilang!” teriaknya panik ketika melihat anak bungsunya berwajah pucat tergeletak tidak berdaya. Beliau lantas membantunya bangun.

“Nanti, Bu. Sa...kit,” ucap Gilang dengan suara gemetar. Wajahnya penuh dengan keringat. Tampak dia menahan sakit.

Bu Rita terdiam sejenak. Matanya berkaca-kaca. Hatinya perih bukan main mendapati anaknya kesakitan, sedangkan beliau sendiri tak bisa berbuat banyak.

Sebenarnya setiap kali trauma itu kambuh, Bu Rita ingin sekali memeluk Gilang dengan erat. Mengusap lembut punggungnya. Lalu bilang ‘Sabar, Gilang. Allah Maha Penyembuh Hati. Allah bersama orang-orang yang sabar.’ Tapi sampai detik ini, hanya kata-kata yang bisa diucapkan tanpa pelukan. Karena beliau takut menambah rasa sakit pada retaknya tulang bagian perut dan belakang yang mulai sembuh. Takut jika mendekapnya erat malah membuatnya kembali terluka.

“Gilang, kita ke rumah sakit sekarang ya. Ibu khawatir dengan punggung Gilang karena jatuh tadi,” pinta Bu Rita ketika anaknya sudah lebih tenang. Beliau pun buru-buru mengambil kursi roda, lalu membantu Gilang untuk duduk. Mengantarnya ke mobil. Setelah itu, beliau sendiri mengemudikan mobilnya ke RS Hasan Sadikin, karena Pak Andri masih bekerja seperti biasa.

Bu Rita benar-benar totalitas mengurus anak bungsunya itu sampai akhirnya memutuskan cuti sementara. Kini sekretaris lah yang sedang mengambil alih tugasnya sebagai kepala rumah sakit. Gilang yang mengetahuinya pun semakin merasa bersalah. Dia pernah meminta ibunya untuk bekerja saja, namun hasilnya nihil.

Begitulah ibu. Katanya, beliau akan merasakan sakit lebih dari yang diterima anaknya. Hatinya jauh lebih terluka ketika anaknya terluka. Maka untuk menyembuhkan dirinya, seorang ibu akan menyembuhkan luka anaknya, siapapun keluarganya. Begitulah perempuan yang sangat dimuliakan Allah . Hatinya tulus. Walau berkali-kali kita menolak nasihatnya, bukankah ibu yang berkali-kali datang pertama kali ketika kita terluka?

“Bagaimana Gilang, Anna?”

Anna yang sekarang sudah bekerja tetap di RS Hasan Sadikin masih memerika lengan laki-laki di hadapannya. Menggerakkan perlahan. Lantas sesekali Gilang meringis, menahan sakit.

“Tangan kiri bagian atas mengalami memar. Kalau soal tulang belakangnya, perlu dilakukan rontgen terlebih dahulu, baru nanti dicek lebih lanjut. Saya harap tulangnya baik-baik saja,” jelasnya.

Belum sempat memberi respons, tiba-tiba terdengar suara ponsel berdering. Bu Rita pun bergegas keluar mengangkatnya.

Di ruang periksa, suasana menjadi lengang. Tak ada percakapan selama beberapa menit. Anna sempurna bungkam, canggung setengah mati. Seandainya saja hatinya lebih profesional, pasti Gilang sudah ditanyai banyak hal tanpa harus ada Bu Rita. Tapi bagaimana bisa, hatinya saja baru patah tepat sebulan lalu oleh dia yang enggan membuatnya menunggu, yang saat ini terbaring di atas brankar.

Bu Rita lama sekali ya. Anna berdecak, menghela napas panjang. Kakinya sudah gatal ingin melangkah pergi.

“Anna.”

Lihat selengkapnya