Di Antara Ribuan Jeda

Ghoziyah Haitan Rachman
Chapter #28

Hari-Hari Biasa

London, September 2010

Hampir dua bulan berlalu sejak Farren akhirnya dimakamkan di Padang, kampung halaman ibunya. Telah berlalu pula bulan Ramadhan tahun ini. Sekarang tak ada lagi isak tangis yang menyayat hati seperti malam itu. Tak ada lagi sesak yang menahun hanya karena rindu. Yang ada adalah doa ‘semoga Farren ditempatkan di surga-Nya’ di setiap penghujung shalat; pun perubahan pada masing-masing orang yang ditinggalkan.

Nayomi sudah satu bulan ini mengikuti komunitas muslim di London. Di sana dia banyak belajar soal Al-Qur’an dan hadist, dasar-dasar agama Islam yang dulu diabaikannya. Bu Diana setiap hari tak pernah terlewat mengaji seusai shalat Shubuh dan Maghrib. Beliau juga sering mengingatkan anggota keluarganya untuk mengaji, termasuk Alya. Lantas Pak Tomy lebih rajin shalat ke mesjid, kemudian sesekali ceramah yang ia dapat diceritakan lagi saat makan bersama di rumah.

Alya menjadi saksi atas perubahan semua itu. Suasana terasa lebih religius. Membuat hatinya kian tenang dan terus bersyukur. Membuatnya sadar bahwa kepergian Farren telah menjadi pelajaran sekaligus peringatan. Bahwa sejatinya, jiwa raga ini tak pernah milik kita seutuhnya. Bahkan kesadaran yang sekejap tumbuh di dalam hati adalah sebab Allah  Maha Pembolak Balik Hati.

Maka setelah belajar kehilangan, semoga hati Alya pun segera melunak untuk mau berjilbab mengikuti perintah-Nya, menyusul Bu Diana dan Nayomi.

Selain itu.

Meski awalnya bayangan Farren sering mengganggu pikiran masing-masing, Nayomi dan Alya tetap tak lupa meneruskan tesisnya sejak tiba lagi di London. Saat itu bertepatan dengan bulan Ramadhan. Mereka rajin bolak balik ke pembimbing untuk konsultasi sampai akhirnya seminggu setelah hari raya Idul Fitri mereka berhasil mengumpulkan laporan tesis tersebut. Alhamdulillah. Tinggal satu tahap tersisa: Sidang tesis. Di sinilah waktunya pembuktian sejauh mana mahasiswa paham atas riset akhir yang telah dilakukannya.

“Aku sidang minggu depan. Kamu kapan, Al?” tanya Nayomi seusai menerima pesan terkait jadwal sidangnya.

“Sama, Nay.” Alya menyeringai menatap sahabatnya.

Kini kedua sahabat itu sedang menaiki bus arah pulang. Alya yang duduk di sebelah jendela menatap jalanan. Tampak daun-daun berjatuhan. Rupanya musim gugur mulai melingkupi kawasan Inggris. Tak terasa sudah setahun aku merantau. Alya menarik napas panjang lalu menghembuskannya perlahan. Dan sebentar lagi akan pulang. InsyaAllah.

What’s your plan next, Al? Kamu langsung pulang?”

InsyaAllah, sepertinya begitu. Aku kangen orang rumah, Nay. Lagian aku juga mau jadi dosen di kampus kita dulu. Nanti pas graduation, insyaAllah I will be here again. Then, how about you?” tanya Alya balik.

“Tadinya aku mau langsung kerja. Tapi tiba-tiba kepikiran ingin break dulu satu sampai dua tahun.” Nayomi berhenti sejenak. Ia mengambil secarik kertas dari tas ranselnya, lalu memberikannya ke Alya. “I want to be like him. Aku baru tahu kalau ternyata Bang Farren itu seorang hafizh. Aku menemukan kertas itu ketika membereskan apartemennya. Dia hafal 30 juz, Al. MasyaAllah kan. Di sela-sela kesibukan kerjanya, dia sempatkan ikut komunitas penghafal Qur’an. He was awesome, really. Makanya, aku juga ingin punya hafalan Qur’an yang banyak, Al. Biar bisa se-sholeh Bang Farren.” Perempuan berkerudung krem itu tersenyum. Sedangkan Alya masih membaca baik-baik kertas sertifikat hafizh[1] atas nama ‘Muhamad Farren’ tersebut. Di sana tertera tanggal mulai sampai selesai semua target hafalan Al-Qur’an.

MasyaAllah. Matanya berkaca-kaca. Hatinya berdesir, semakin kagum. Farren benar-benar pergi dengan meninggalkan banyak kebaikan. Membuat orang ingin selalu mendoakannya.

Ya Allah, lapangkanlah kubur Kak Farren. Ampunilah segala kesalahannya di dunia. Masukkanlah dia ke surga-Mu Ya Allah Yang Maha Pengasih, lindungilah ia dari siksa api neraka. Aamiin.

Lihat selengkapnya