Bandung, Oktober 2010
Sejauh apapun aku merantau, rumah tetaplah tempatku untuk pulang. Seindah apapun tempat rantau, rumah takkan pernah tergantikan. Setinggi apapun mimpiku di negeri seberang, di rumah lah pada akhirnya aku akan mengabdi. Sebab di sana ada Ibu dan Bapak, ada keluarga sehidup―semoga―sesurga. Baktiku wajib kepada mereka, bukan untuk membalas jasa, melainkan untuk mentaati perintah-Nya.
Ya Allah Yang Maha Kuasa, izinkanlah hamba, juga Ratna, menjadi anak yang selalu berbakti sama Ibu dan Bapak. Aamiin.
Seorang perempuan berambut panjang terurai baru saja selesai mengetik secuil catatan kehidupannya. Dia tersenyum ketika membacanya ulang dalam hati. Tak lama dia menghela napas panjang. Menutup laptop di hadapannya. Lalu beranjak pergi keluar kamar.
“Mbak, sini-sini nonton bareng sama Ibu. Sekalian cerita bagaimana di London,” ajak seorang wanita paruh baya yang tidak lain adalah Bu Dewi. Beliau sedang duduk menghadap televisi di karpet yang terhampar di ruang tengah.
Alya yang dipanggil bergegas duduk di samping ibunya. Bibirnya lagi-lagi menyimpul senyum. Alhamdulillah. Sekarang sosok ibu tak lagi hanya dalam bayangan imaji. Wajah teduhnya, senyum manisnya, dekapannya yang hangat, semua itu telah kembali nyata di depan mata. Dirinya tak pernah merasa se-bersyukur ini berada di rumah. Dulu sewaktu kuliah S1, pulang hanyalah sekadar pulang. Rumah malah terkadang hanya tempat singgah yang terabaikan, karena dia lebih sibuk di kampus. Sementara saat ini, rasanya sungguh berbeda.
Rupanya benar, sekali-kali kita memang perlu jarak untuk menghargai kehadiran yang sempat terabaikan.
“Alhamdulillah, banyak pengalaman baru, Bu. Mbak sempat ikut workshop ke Paris, sekalian jalan-jalan di sana. Rasanya Mbak ingin banget bawa Ibu sama Bapak ke sana. Semoga suatu saat nanti bisa ya, Bu.” Alya berhenti sebentar lalu tersenyum menatap ibunya. “Terus Mbak pernah menggantikan pembimbing untuk jadi pembicara di konferensi, Bu. Gara-gara itu jadi kenal beberapa profesor yang satu ranah penelitian. Ternyata ada juga profesor yang baru umur 30-an loh, Bu. Mereka keren―”
“Anak Ibu juga keren, kok,” sahut Bu Dewi memotong pembicaraan sembari mengacungkan jempol.
“Aamiin. Sekeren Ibu sama Bapak ya,” rayu Alya ditambah kedipan mata menggoda. “Oh iya, Mbak juga sekali kesasar di London, Bu. Salah Mbak sih. Soalnya dikira London kecil, jadi santai-santai. Ditambah lagi ketiduran di bis. Dari dulu kebiasaannya belum hilang juga nih, Bu,” lanjutnya lantas menyeringai.
Bu Dewi tersenyum mendengar cerita anaknya. Beliau pun sama bersyukurnya seperti Alya. Tak terasa satu tahun anak pertamanya merantau dan detik ini beliau bisa kembali melihatnya sehat secara utuh. Alhamdulillah.
“Terus di sana ketemu jodoh nggak, Mbak? Siapa tahu jodohnya jauh di Eropa, kan.” Bu Dewi menggoda anaknya yang telah genap berumur 23 tahun pada bulan September lalu.
Suasana lengang sejenak. Raut wajah Alya berubah sedikit. Kini senyumnya tampak getir. Dalam sekejap bayangan Farren terlintas di benaknya.
Ketika Alya hendak mengalihkan pembicaraan. Ketika hujan mulai mengguyur kota Bandung bagian selatan. Ketika itulah seorang perempuan berkerudung membuka pintu rumah. Alya pun langsung berdiri melihat siapa yang datang. Mendadak lupa atas apa yang baru diingatnya.
MasyaAllah, Ratna, gumamnya terkejut.
Refleks dia mendekap erat adik satu-satunya itu yang dari kemarin sore tidak ada di rumah saat Alya kembali dari London, yang dinanti pulang dari koas jaga malamnya. Tak lama dia mengerutkan dahi sambil menjelajah penampilan Ratna sekarang.
“Mbak, baru sadar. Sejak kapan kamu pakai kerudung, Ratna?”
“Alhamdulillah, dari sebulan lalu, Mbak,” jawab Ratna tersipu malu.