Bandung, November 2010
Langit mendung tengah melingkupi kota sejak pagi tadi. Membuat kebanyakan orang terlampau nyaman berselimut di kamar. Ditambah lagi hari ini hari Sabtu. Rasanya teramat malas untuk beraktivitas. Namun, hal tersebut tidak berlaku bagi dokter. Buktinya, ialah Ratna yang dari jam tujuh pagi sudah pergi koas ke RS Hasan Sadikin. Berbeda dengan Alya yang baru saja membuka laptopnya untuk mengecek ulang berkas pendaftaran dosen di IT Telkom. Dia sesekali santai-santai di kasur. Sesekali melamun memandang keluar jendela.
Sayangnya hatinya sewarna dengan langit. Mendung kelabu. Dirinya gundah tak jelas hanya karena kabar soal Ratna yang hendak dilamar. Dia khawatir hatinya diam-diam iri lantas tak merestui pernikahan adiknya. Bagaimana ini, Ya Allah?
Hari ini, akhirnya dengan lugas dia mengajukan dirinya ingin menjadi pendamping hidupku. Dengan berani dia akan datang ke rumah atas izinku untuk menemui Bapak. Namun, aku tahu, pernikahan tidak hanya melibatkan sepasang manusia, tapi juga melibatkan dua keluarga, anggota-anggota di dalamnya.
Maka maafkan aku, Mas, atas jawaban yang sungguh aku pula membencinya. Maaf aku belum bisa melanjutkan keseriusan Mas Husni ke jenjang pernikahan. Aku tak mau mendahului kakak perempuanku satu-satunya, meski aku tidak tahu bagaimana perasaan Mbak Alya. Aku tak mau menikah di atas hati yang sangat mungkin terluka. Bagaimana bisa bahagia di hari paling bahagia ketika aku malah menyakiti orang lain di hari yang sama.
Ya Allah Yang Maha Kuasa. Kupasrahkan semuanya pada-Mu. Engkaulah Sang Pencipta Skenario Terbaik. Kuyakin jika Mas Husni jodohku, pasti Kau memberi jalan untuk menyatukan kita pada akad nikah yang suci. Tapi jika tidak ada jalan dari-Mu, jawabannya sederhana: Dia bukan jodohku, kan.
Alya menghela napas panjang seusai membaca sebagian buku harian Ratna yang ditemukan di laci meja belajar kamar. Dadanya sejenak sesak, terbutakan oleh dunia. Sedih bukan karena ternyata adiknya menolak lamaran Husni, melainkan dia merasa Tuhan tidak adil padanya. Dia tidak mendapatkan beasiswa kedokteran yang diinginkannya, sedangkan adiknya dapat. Kisah cintanya rumit sebab yang dicintai bertahun-tahun begitu jauh ribuan kilometer darinya dan pilihan terakhirnya justru pergi meninggalkannya, sedangkan kisah cinta adiknya terbilang mulus sebab yang dicintai begitu dekat dengannya.
Sekarang perempuan berambut diikat satu itu bersandar di kursi meja belajar. Dia mendongak. Matanya menatap plafon.
Bersyukur, Alya. Setidaknya dari apa yang tidak kamu dapatkan, kamu belajar lebih pasrah pada-Nya. Dari jauhnya jarak antara kamu dengan yang dicintai, kamu belajar lebih berharap pada-Nya. Dan dari dia yang benar-benar pergi, kamu pun belajar untuk lebih mengikhlaskan segalanya yang memang milik-Nya. Separuh benaknya yang sadar berbisik, mencoba mengalahkan prasangka yang mulai merusak hati. Lagipula bukankah semua hikmah dari-Nya lebih berharga daripada seisi dunia?