Bandung, Januari 2011
Sudah satu hari Ratna dirawat di RS Hasan Sadikin karena pingsan kelelahan. Sudah satu hari pula Alya menemani adiknya. Baginya, biar dia saja yang menjaga adiknya di rumah sakit. Biar ibu dan bapaknya bisa pulang dan istirahat lebih tenang. Lagipula untuk sementara waktu, hanya dia satu-satunya yang belum punya kerjaan penting, lebih tepatnya masih menunggu pengumuman penerimaan dosen di IT Telkom.
Kini Alya menatap adiknya yang tertidur lemas di atas brangkar. Benaknya teringat atas kata-kata yang dilontarkan Ratna sebulan lalu.
“Mungkin Mas Husni memang bukan jodoh Ratna, Mbak. Kalau benar begitu, Ratna berharap tidak pernah lagi bertemu dengannya. Tapi enggak bisa semudah itu kan, Mbak? Semuanya sudah diatur sama Allah. Jangan-jangan walaupun bukan jodoh, kita malah ditakdirkan tetap sering bertemu dengan orang yang kita cintai.” Ratna mengambil jeda sebentar. “Lagipula kita tidak selalu bisa memilih dimana, dengan kondisi seperti apa kita akan bertemu dengan seseorang. Karena takdir memang tidak selalu memberikan kita pilihan.”
Alya menghela napas panjang. Terbayang kembali pertemuan kemarin malam di dekat pintu masuk rumah sakit, dengan laki-laki yang dulu ia cintai bertahun-tahun. Pertemuan yang terjadi lagi setelah tragedi kehilangan. Dan untuk pertama kalinya, sejarak satu meter, dia melihat mata Gilang yang sembab. Membuat hatinya sedikit terluka sampai bertanya-tanya. Mengapa setelah sekian banyak harapan yang runtuh, sekian jauh jarak terbentang, sekian banyak takdir yang seolah tak mendukung, masih ada debaran jantung yang tak biasa.
Perempuan berkerudung cokelat itu keluar sebentar mencari angin.
Sekarang dia tahu maksud adiknya. Ratna tidak suka bertemu dengan Husni yang bukan jodohnya, bukan sebab rasa sakit-tak-memiliki, melainkan takut jika hatinya tak bisa juga berpaling.
“Alya?”
Terdengar seseorang memanggil namanya. Alya pun berhenti melangkah lalu menoleh ke belakang. Seketika jantungnya berdegup kencang.
“Bagaimana keadaan adikmu, Alya? Sudah membaik?” tanya laki-laki berkaos biru itu yang ternyata adalah Gilang. Dia ingat betul percakapan singkat dengan Alya tadi malam soal kenapa keduanya ada di rumah sakit.
“Alhamdulillah semakin baik, Kak. Kalau istri dan bayi kakaknya Kak Gilang bagaimana? Sudah stabil?” tanyanya balik.
“Alhamdulillah, kondisi Mbak Maryam sudah stabil, tapi perlu dirawat inap beberapa hari dulu biar bisa ditinjau langsung sama dokter. Kalau bayinya masih diinkubasi karena lahir prematur. Mohon doanya ya, Alya.”
Lengang. Mereka berdiri terkaku di tengah salah satu lorong rumah sakit.
“Alya.” Gilang menghela napas, menenangkan dirinya. “Kalau memang tidak sedang sibuk, boleh saya bicara sebentar?”
“Boleh, Kak. Kita bicara di kantin rumah sakit saja ya.”
Keduanya pun berjalan berdepan-belakangan dengan pikiran masing-masing. Yang satu bertanya-tanya dalam hati. Sedangkan yang lain sibuk mengumpulkan keberanian yang dulu tenggelam.
“Alya, saya mau menjelaskan sesuatu. Sebelumnya saya minta maaf atas pernikahan Alya... yang tidak jadi,” ucap Gilang sedikit ragu.