Di Antara Ribuan Jeda

Ghoziyah Haitan Rachman
Chapter #33

Separuh Hati

Bandung – Jakarta, Februari 2011

Namanya adalah Naira Najmah Islami. Dialah anak pertama dari Maryam dan Pandu; pun cucu pertama yang selama delapan tahun lebih ditunggu-tunggu oleh keluarga Pak Andri. Bayi perempuan itu lahir tepat pada tanggal 15 Januari 2011. Alhamdulillah. Kondisinya semakin stabil setelah seminggu pertama harus diinkubasi. Sementara Maryam masih dalam pemulihan dari luka bekas operasi caesar. Karenanya, Pandu pun memutuskan untuk tinggal dua bulan lagi di rumah orangtuanya sampai istrinya sembuh total.  

Hari-hari berlalu. Kehadiran Naira benar-benar mengisi rumah Pak Andri yang tadinya sepi. Pak Andri yang biasanya pendiam malah sering menggendong cucu pertamanya itu di rumah sambil bercerita banyak hal. Bu Rita suka ikut repot membantu Maryam kalau Naira terbangun malam-malam. Beliau gantian menjaga cucunya dan menyuruh menantunya untuk istirahat. Tidak hanya itu. Hampir setiap selesai Maghrib, Gilang menggendong Naira sambil melantunkan ayat-ayat Al-Qur’an yang dihafalnya dengan merdu hingga terdengar samar ke ruang tengah. Setelah terdengar adzan Isya, dia pun kembali meletakkan Naira di ranjang bayi lalu bergegas wudhu dan pergi ke mesjid. Seperti saat ini.

“Ibu lihat kamu rajin sekali mengaji untuk Naira. Ibu suka lihatnya, Gilang. Anak Ibu yang satu ini sepertinya sudah cocok menjadi seorang ayah, ya,” ucap Bu Rita satu waktu, seusai Gilang pulang dari shalat Isya di mesjid.

Saat itu keduanya sedang di dapur. Gilang membuatkan teh manis untuk ibunya dan dirinya. Lalu mereka duduk berhadapan di meja makan.

Gilang tersenyum kecil menatap ibunya. Jika saja Bu Rita tahu, anak bungsunya masih merasa bersalah atas kelahiran Naira yang sedikit prematur. Kiranya, kondisi bayi yang lahir sebelum waktunya bisa lebih lemah dibanding yang tepat waktu. Maka ia mengaji, berharap ayat-ayat Al-Qur’an akan lebih menguatkan Naira.

“Gilang, Ibu sudah memutuskan untuk tidak lagi menjodoh-jodohkan Gilang. Saat ini ikhtiar Ibu adalah berdoa yang terbaik buat Gilang. Ibu tahu, sekalipun perempuan yang Ibu bawa memenuhi kriteria, kecocokan tidak bisa datang begitu saja. Makanya sekarang terserah kamu, Gilang. Ibu yakin, InsyaAllah calon istri yang dipilih Gilang adalah perempuan yang baik.” Bu Rita berhenti sebentar, meneguk teh di depannya. “Jadi sekarang, sudah sampai mana ikhtiarnya Gilang? Bagaimana kabar perempuan pilihanmu? Sepertinya Ibu perlu tahu namanya ya,” lanjut beliau.

Senyum Gilang memudar seketika. Raut wajahnya murung.

“Namanya Alya, Bu.” Gilang menghela napas panjang. “Kayaknya ikhtiar saya akan gagal, Bu. Alya sudah memilih laki-laki lain. Tapi beberapa bulan lalu calonnya itu meninggal karena telah menyelamatkan saya sewaktu di Canberra, Bu. Dia adalah laki-laki yang tertembak banyak saat melindungi saya dari orang jahat di sana. Saat ini mungkin saya punya kesempatan lagi untuk mendekati Alya, tapi bagaimana bisa, Bu? Saya sendiri masih merasa bersalah karena telah menjadi penyebab dari mimpi buruknya.”

Lihat selengkapnya