Bandung, Maret 2011
Nyaris setengah jam Alya yang sudah dibalut make-up dan berkerudung krem memerhatikan adiknya yang sedang dirias pengantin. Terlihat sekali wajah Ratna yang tegang. Sembari melihat kakaknya dari kaca, dia sesekali memberi senyum. Alya pun balik tersenyum hingga pipinya menyimpul lesung pipit disertai mata yang berkaca-kaca. Masih tak menyangka bahwa adiknya akan menikah secepat ini mendahului dirinya.
“Mbak Alya, saya mohon restu Mbak Alya agar mau mengizinkan saya segera menikahi Ratna.”
Terngiang ulang permintaan Husni ketika melamar Ratna dua bulan lalu.
Husni, pemuda yang tiba-tiba pergi lantas datang kembali. Dia pergi untuk mengejar mimpinya menjadi dokter spesialis bedah di Singapura, sekaligus untuk melupakan Ratna. Jarak tanpa temu memang solusi paling cepat untuk melupakan, tapi cinta tidak pernah semudah itu. Sejauh apapun jarak, bukankah cinta tetap cinta. Maka Husni kembali untuk meyakinkan hatinya atas perasaan Ratna. Jika sang pujaan hati menerima lamarannya, dia pun akan memundurkan rencana kuliah spesialisnya sampai perempuan yang dinanti selesai internship. Dan hari ini adalah jawabannya: Ratna dan Husni akan menikah. Alhamdulillah.
Pukul 08.00 WIB. Acara pernikahan dimulai. Alya menemani adiknya di kamar rias sampai ijab kabul selesai dan mempelai wanita diminta untuk keluar menemui mempelai pria.
“Saya terima nikahnya dan kawinnya Nur Ratna binti Bambang Sutrisno dengan maskawinnya yang tersebut dibayar tunai.”
Perjanjian suci tersebut menggema dalam gedung melalui pengeras suara. Orang-orang terdengar menyatakan ‘Sah!’. Seketika jantung Ratna berdegup kencang. Hatinya berdesir, berzikir mengucap syukur tiada henti kepada Sang Pencipta, Allah Yang Maha Pengasih. Begitupun dengan Husni. Alhamdulillah. Alhamdulillah. Wajah keduanya berseri-seri. Mulai hari ini separuh agama mereka telah disempurnakan. Cinta yang sebelumnya saling terpendam menjadi halal, bahkan bersentuhan bagi mereka akan berbuah pahala. MasyaAllah.
Tak lupa doa baik pun dipanjatkan untuk mereka pengantin baru. Baarakallahu laka wa baarakaa ‘alaiyka wa jama’a baiynakumaa fii khoir[1]. Mudah-mudahan Allah mencurahkan keberkahan atasmu dan mudah-mudahan Dia mempersatukan kamu berdua dalam kebaikan.
Ratna yang cantik dengan jilbab dan gaunnya yang serba putih bersiap keluar dari kamar rias. Baru saja dia berjalan selangkah, Alya tiba-tiba memeluknya erat.
“Barakallah, Ratna. Semoga Ratna dan Husni selalu dirahmati oleh Allah. Jangan lupa doakan Mbak ya. Semoga Mbak cepat menyusul,” ucap Alya lirih. Tak terasa matanya meneteskan air mata.
Ratna pun balik mendekap kakaknya lebih erat. “InsyaAllah, Mbak. InsyaAllah pasti Ratna doakan yang terbaik untuk Mbak Alya.”
Kini Alya mengantar adiknya menghampiri suaminya. Sungguh tak ada lagi rasa cemburu. Dia sempurna mengikhlaskan pernikahan Ratna dengan Husni. Lagipula tak ada gunanya menyimpan rasa sakit, sebab takdir takkan berubah begitu saja. Jodoh Alya tetap tidak akan datang jika Sang Pencipta belum berkehendak.
Satu jam seusai akad nikah, resepsi dimulai. Ketika tamu keluarga jauh mulai berdatangan, Alya memutuskan berdiam diri di kamar rias. Dia tahu betul akan ada pertanyaan yang sering dilontarkan padanya. Pertanyaan basa-basi untuk mengisi bahan percakapan: Kok belum menikah? Kapan menikah menyusul adiknya? Dan berbagai pertanyaan serupa yang cukup mengganggu.
Astaghfirullah. Alya buru-buru membuyarkan pikiran buruknya.