Bandung, Maret 2011
“Mbak, kalau Ibu kenalkan sama laki-laki anak tetangga, mau? Dia sholeh loh, Mbak. Rajin ke mesjid. InsyaAllah baik untuk Mbak,” jelas Bu Dewi di hari terakhir rawat inapnya ketika anak pertamanya sedang membereskan baju ke dalam tas.
Alya terdiam sejenak. Duduk di samping brankar dimana ibunya berbaring. Lalu menghela napas panjang.
“Ibu,” ucapnya pelan. “Sekarang kesehatan Ibu adalah prioritas keluarga. Mbak ingin Ibu sehat dulu, baru kita bicarakan lagi soal jodoh Mbak ya. Dokter kan masih minta Ibu check-up lusa. Itu artinya Ibu belum sehat total. Lagipula―” Alya mengambil jeda sebentar. “―Mbak mau merawat Ibu sama Bapak saja. Mbak tidak usah menikah. Mbak tidak mau menduakan Ibu dengan jodoh Mbak yang tidak tahu siapa.”
“Astaghfirullah. Tidak boleh bilang begitu, Mbak. Perkataan itu doa. Mbak harus menikah.” Bu Dewi bangun, menegakkan punggungnya. “Orangtua selain bertugas menjaga, merawat dan mendidik anaknya juga harus mengantarkan anaknya ke pernikahan. Orangtua berhak memilihkan calon pasangan yang baik untuk anaknya. Siapa tahu nanti di akhirat, malah keturunan dari anaknya yang akan menyelamatkan orangtuanya, kakek neneknya.”
Suasana lengang. Kepala Alya tertunduk.
“Misalnya Mbak. Mbak adalah aset untuk Ibu. Mbak bisa jadi amal jariyah yang akan menyelamatkan Ibu di akhirat nanti sampai masuk ke surga Allah. Tidak hanya itu. Bahkan suami bisa menjadi gerbang bagi seorang istri untuk masuk ke pintu surga mana saja asal mentaati perintah suaminya yang baik-baik. Allah itu sayang sama kita, Mbak. Makanya Allah kasih banyak jalan kebaikan untuk bisa mencapai surga-Nya. Salah satu caranya adalah dengan pernikahan.”
Bu Dewi menghela napas panjang. Beliau masih cemas mendengar pernyataan putrinya tadi yang belum pernah didengarnya.
“Ibu tidak memaksa Mbak cepat menikah. Ibu hanya berniat membantu Mbak saja mencari jodoh. Tapi kalau belum mau, tidak apa-apa. InsyaAllah, kita akan bahas lagi soal jodoh Mbak setelah Ibu sehat ya,” lanjut beliau sambil mengusap kepala Alya dengan lembut.
“Maafkan Mbak ya, Bu.” Alya menatap mata ibunya sebentar lalu kembali menunduk. Hatinya menyesal atas pernyataan yang telah dilontarkannya. Terlebih jika dia tahu pernyataan tersebut akan membuat ibunya khawatir, dia takkan pernah mau mengatakannya.
Sungguh Alya amat menyayangi keluarganya. Dia tak mau membebani mereka sedikitpun dengan masalah yang seharusnya dapat ia selesaikan sendiri, termasuk soal jodohnya. Bahkan sampai saat ini orangtuanya pun masih tak tahu soal kepergian pria yang akan meminangnya.
Ya Allah Yang Maha Baik selalu lindungi dan rahmatilah Ibu dan Bapak, juga Ratna. Sehatkanlah selalu keluarga hamba, Ya Allah, doanya dalam hati. Aamiin.