Bandung, April 2011
Minggu pagi akhir bulan ini cerah. Langit biru sedikit berawan menyelimuti kota dengan matahari yang sudah naik sehasta. Membuat kebanyakan orang semangat beraktifitas di luar rumah. Ada yang piknik sekeluarga, pengajian di mesjid, silaturahmi dengan teman-temannya sekalian olahraga bersama atau kegiatan lainnya. Begitupun dengan Gilang dan ibunya. Mereka harus memenuhi undangan pernikahan dari salah satu teman seproyeknya.
Pukul 08.34 WIB. Mereka tiba di Balai Sartika. Gilang menghela napas panjang. Memerhatikan orang-orang yang tidak satupun dikenalnya. Sebenarnya dia ingin sekali datang jam 11 siang, menyalami pengantin, makan sebentar, lantas pulang. Namun hal itu tidak akan terjadi jika Bu Rita turut diundang karena beliau rajin menyaksikan akad nikah. Kata beliau, yang terpenting dalam pernikahan adalah akadnya bukan resepsinya.
Sekitar 10 menit kemudian, ijab kabul diucapkan. Di saat yang sama Gilang melihat mempelai wanita dari kejauhan. Alhamdulillah. Semoga Allah selalu merahmati keluarga barumu, Anna.
Selepas akad, resepsi langsung dimulai tanpa jeda. Para tamu undangan mengantri bersalaman dengan kedua mempelai lalu pergi makan. Sepanjang acara, lagu-lagu cinta pun mengalun indah memanjakan telinga.
“Barakallah, Anna,” ucap Gilang ketika sehadapan dengan perempuan yang dulu pernah dijodohkan dengannya.
Anna hanya membalasnya dengan senyuman. Ia harap laki-laki yang sekarang menuruni panggung pelaminan itu tak pernah lagi terlintas di pikirannya.
Begitulah semestinya. Ada bangunan yang harus dirobohkan seutuhnya untuk mendapatkan bangunan yang lebih baik. Sebab tak semua bangunan dapat berdiri kokoh di atas dasar bangunan lama yang bersisa. Serupa dengan pernikahan. Ia membutuhkan ruang yang baru, yang lebih luas, komitmen yang tinggi dan untuk membangunnya kita kadang kali perlu melupakan masa lalu. Kita perlu meredam prasangka hati karena pernikahan sendiri membutuhkan kepercayaan diri. Maka biarlah masa lalu milik waktu yang telah lalu sebab mengungkitnya hanya akan melemahkan pondasi yang baru.
Untuk ke sekian kalinya, Gilang menghela napas panjang.
Saat ini tamu undangan semakin bertambah meramaikan resepsi. Bagaimana tidak, nyatanya suami Anna adalah anak dari dokter bedah terkenal di Indonesia. Bu Rita saja bertemu banyak teman sejawatnya di pernikahan ini. Alhasil Gilang memilih untuk memisahkan diri lalu duduk menyendiri di salah satu kursi dalam gedung. Sembari minum jus, sesekali matanya menjelajah.
***
Proses pengenalan Anna dengan suaminya terbilang singkat. Keduanya bertemu awal tahun ini sewaktu menjadi dokter jaga di rumah sakit kabupaten. Dekat selama satu bulan kemudian yang laki-laki langsung melamar Anna hingga akhirnya menikah hari ini. Persiapan menuju pernikahannya hanya sekitar dua bulan. Alhamdulillah. Semua berjalan cepat dan tepat.
Alya baru mendengar detail prosesnya dari Anna dua minggu sebelum hari H. MasyaAllah. Kuasa-Nya menakjubkan. Perjalanan cinta Anna begitu indah. Alya tahu niat sahabatnya tulus untuk mengabdi di rumah sakit kabupaten selama setahun. Siapa yang menyangka dari pengabdian itulah Tuhan hadiahkan teman hidup untuknya. Sungguh Allah Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang.
Kini Alya pun menghadiri pernikahan sahabatnya dengan Ratna dan Husni. Mereka datang setengah jam sebelum Zhuhur lantas mengantri bersalaman dengan pengantin.
“Anna, Alhamdulillah. Barakallah ya, Anna,” ucap Alya antusias. Dia tak bisa berhenti tersenyum menatap sahabatnya yang begitu cantik dengan balutan make-up natural dan jilbab nuansa putih.
“Aamiin. Terima kasih, Alya.” Anna memeluk sahabatnya erat-erat.