Di Antara Ribuan Jeda

Ghoziyah Haitan Rachman
Chapter #37

Jeda

Bandung, Mei 2011

Sejak pertanyaan pentingnya terjawab, tak pernah sehari pun Gilang tak menyematkan nama perempuan yang telah dicintainya bertahun-tahun dalam doa. Semakin hari ia semakin lupa atas tragedi di benua kangguru. Barangkali kini rasa bersalahnya kepada Alya tinggal setitik noda yang nyaris terhapus oleh besarnya harapan. Nyatanya perempuan berkerudung itu telah memenuhi ruang hatinya.

Saat ini Gilang pun sedang merapihkan kemeja yang dikenakannya. Amat terasa jantungnya berdebar kencang. Hatinya tak berhenti berzikir. Benaknya sesekali mengulang ucapan pengajuan yang ingin diutarakannya nanti.

“Ibu senang dengan Alya. Gilang benar, dia perempuan yang baik. Ibu pernah melihatnya membantu orang di rumah sakit. InsyaAllah, Ibu yakin Alya bisa menjadi istri sekaligus ibu yang baik,” kata Bu Rita ke anak bungsunya selepas mengantar Alya pulang di hari pernikahan Anna.

Pernyataan seminggu lalu itu kembali terngiang. Membuat Gilang kian mantap dengan pilihannya.

Bismillahirrahmanirrahim. Kemudian ia ambil kotak kecil berwarna ungu yang tersimpan dalam laci lalu menaruhnya di saku celana. Tak lama dia pun pamit, minta restu ke orangtuanya.

“Gilang, jangan lupa luruskan niat kamu ya,” ujar Pak Andri sebelum anaknya pergi. “Ingat, niat menikahnya hanya untuk ibadah kepada Allah, bukan untuk S3 kamu ke luar negeri, Gilang.”

“Baik, Yah.”

Pukul 09.05 WIB laki-laki berambut lebih dari satu sentimeter itu melajukan mobilnya ke jalanan. Gilang mengingat-ingat jalan yang harus dilewatinya agar sampai di rumah Alya. Selama perjalanan, tangannya pun mulai berkeringat dingin. Sesekali dia menghela napas panjang. Ya Allah. Hatinya tak karuan. Rasanya hari ini lebih menegangkan dibanding sidang tesisnya. Bahkan dia sudah khawatir mulutnya akan sulit bicara di hadapan ayahnya Alya.

Rabbisy rahlii shadrii, wa yassirlii amrii, wahlul ‘uqdatam mil lisanii, yafqahuu qaulii. Ya Rabbku, lapangkanlah untukku dadaku, dan mudahkanlah untukku urusanku, dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, supaya mereka mengerti perkataanku.

Gilang terus menggumamkan doa Nabi Musa  hingga akhirnya dia tiba di depan komplek rumah Alya. Seketika jantungnya pun semakin berdentum keras. Tiba-tiba dia ragu entah karena apa. Mungkin setan sedang menggoda niat baiknya dengan berbagai prasangka buruk yang menghantui pikirannya.

Bismillahirrahmanirrahim.

Sekarang mobil Gilang maju perlahan memasuki komplek. Tak lama dia masuk ke sebuah blok jalan. Matanya hanya tertuju pada satu rumah di ujung jalan blok tersebut. Lalu dahinya mengerut. Dari jauh tampak beberapa orang berdatangan ke rumah itu. Sambil berzikir, dia pun tetap melanjukan mobilnya pelan. Ketika jaraknya tinggal dua meter. Ketika Gilang bisa melihat jelas tamu-tamu berbicara di depan rumah Alya. Ketika itulah jantungnya seolah berhenti sedetik. Dia tersadar bahwa bendera kuning yang tertancap di beberapa sudut jalan berakhir di rumah yang ditujunya. Dalam sekejap napasnya berat. Terasa sesak.

Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un.

Siapa yang meninggal? Gilang mematikan mesin mobilnya. Dia menyandarkan kepalanya di atas setir. Tubuhnya mendadak lemas. Astaghfirullah. Gilang pun sibuk menata hatinya beberapa menit. Lantas dia beranikan diri untuk menghampiri rumah perempuan yang dicintainya.

Sungguh siapa yang mengira hari yang paling dinanti-nanti Gilang adalah hari yang paling pilu bagi Alya. Gilang hanya berharap lamarannya hari ini akan lancar dan dapat membuat pujaan hatinya tersenyum. Tapi kini dengan jelas, untuk kedua kalinya, dia malah melihat Alya menangis karena kehilangan. Hatinya pun ikut terluka. Ada sakit yang tak tahu dimana letaknya.

Ya Allah lapangkanlah hati Alya. Tabahkanlah hatinya atas kehilangan orang yang dicintainya.

Laki-laki berkemeja itu langsung balik ke mobil selepas mendoakan jenazah. Dia tak kuasa lagi berdiam diri di rumah Alya. Terlebih lagi dia jadi terbayang keluarganya yang sering ia sia-siakan demi mimpi dunianya. Dengan hembusan napas yang berat, dia pun pulang dengan membawa berita duka.

Setiba di depan garasi rumahnya, Gilang menghentikan mobil sebentar. Dia mengeluarkan satu kotak kecil berwarna ungu dari saku celana. Perlahan dia membukanya. Tampak sepasang benda kecil melingkar terpajang indah saling diikat oleh pita berwarna putih. Kali ini dia bertanya-tanya dalam diam. Entah kapan dia akan kembali lagi. Entah sampai kapan dia harus menunggu Alya menyembuhkan hatinya yang baru kehilangan.

Mungkinkah cincin ini melingkar di jari manismu, Alya?

 

***

 

Melihat jenazah di hadapannya yang telah ditutup kayu di liang lahat dan sedang ditimbun tanah merah, Alya tak bisa berhenti meneteskan air mata. Wajahnya merah padam. Dadanya teramat sesak. Baginya, hari ini adalah hari paling menyedihkan. Sangat hancur hatinya ditinggal pergi oleh seseorang yang telah dicintainya lebih dari 22 tahun. Sungguh kepergian Farren tidaklah seberapa. Luka dulu bisa sembuh dalam hitungan bulan, tapi luka yang sekarang mungkin akan sembuh dalam waktu tahunan.

 Astaghfirullah. Maafkan Mbak, Bu. Maafkan Mbak yang belum bisa jadi anak yang sholeh buat Ibu. Belum bisa jadi amal jariyah buat Ibu. Maafkan Mbak, Bu.

Alya merasa bersalah, apalagi jika mengingat petuah ibunya beberapa minggu lalu. Sesalnya dia malah tak sengaja menyinggung hati ibunya dengan perkataan yang dikiranya baik.

Ya Allah, maafkan hamba-Mu ini yang suka menyakiti hati Ibu, doanya dalam hati. Ampunilah semua dosa Ibu, Ya Allah. Lapangkanlah kuburnya. Hamba mohon lindungilah Ibu dari siksa api neraka dan masukkanlah Ibu ke surga-Mu Ya Allah Yang Maha Pengasih.

Sekitar setengah jam kemudian, penguburan jenazah Bu Dewi selesai. Lalu dilanjutkan dengan doa bersama. Tak lama orang-orang yang mengantar jenazah pun bubar. Pak Bambang dengan mata yang sembab berdiam sejenak di samping kuburan istrinya sembari berdoa dengan amat khusuk. Ratna yang masih menangis didekap erat oleh suaminya. Sementara Alya sibuk menahan air matanya agar tidak tumpah berlebihan. Dia pun menepuk pelan dadanya. Napasnya masih terasa berat.

Lihat selengkapnya