London, Agustus 2011
Musim panas masih melingkupi ibu kota Inggris, bertepatan dengan bulan puasa Ramadhan. Langit begitu cerah membiru muda nyaris tanpa gumpalan awan putih. Alya melihatnya jelas dari balik kaca jendela taksi yang sedang dinaikinya. Dia menghela napas panjang. Mengucap syukur dalam hati. Bulan-bulan berlalu setelah sidang tesisnya. Tak terasa kini dia sudah menginjak daratan eropa kembali untuk menghadiri wisuda magisternya esok lusa. Alhamdulillah.
Sepajang perjalanan ke rumah sahabatnya, pikiran perempuan berkerudung biru itu pun menjelajah ke masa lalu. Semua kenangan seketika terputar ulang. Dia teringat pertama kali bertemu dengan Farren ketika menjemputnya di bandara dua tahun lalu bersama Nayomi. Siapa sangka kakak sahabatnya yang pendiam malah menjadi laki-laki pertama yang meyakinkan dirinya bahwa: Dengan siapapun, cinta bisa datang kemudian karena-Nya. Nyatanya Farren adalah laki-laki pertama yang membuatnya berpaling dari cintanya di masa lalu; pun laki-laki pertama yang ingin dia kenalkan ke keluarganya. Namun harapan tetap harapan. Sebaik apapun ia, suatu waktu pasti akan pergi juga, cepat atau lambat.
Alya menarik napas lantas menghembuskannya perlahan. Dia memejamkan matanya sesaat. Jangan lagi mengingat-ingatnya, Alya.
Yang pergi takkan pernah kembali lagi. Jika mengingatnya hanya membuat luka, lalu untuk apa mengingatnya. Biarlah kenangan milik waktu yang telah lalu. Biarlah kesedihan terkubur bersama masa lalu. Agar apa-apa yang telah lalu tidak membutakan hati atas kabar gembira yang menanti di masa depan.
Pukul 01.25 PM. Taksi yang dinaiki Alya sampai di tempat tujuan. Tampak wanita berkerudung cokelat menunggu di depan rumah, bersiap untuk menyambut.
“Assalamu’alaikum. MasyaAllah, Alya?” Nayomi melongo sebentar melihat penampilan Alya yang berubah. Lalu dia langsung memeluk erat sahabatnya. “Is it really you? Finally, Alhamdulillah. Ya Allah, aku bahagia banget lihat kamu berjilbab, Al,” lanjutnya antusia setelah melepas dekapannya.
“Wa’alaikumsalam. Alhamdulillah, Nay. Aku juga kan ingin jadi perempuan sholehah kayak kamu,” balas Alya sambil mengerlingkan matanya. Dia pun tersenyum hingga pipinya melekuk menyimpul lesung pipit.
“InsyaAllah. Aku juga masih proses, Al.” Nayomi terkekeh lantas mengajak sahabatnya masuk ke rumah. Tapi tiba-tiba langkah Alya terhenti di ujung pintu. Matanya tak sengaja menemukan sesuatu di salah satu jari tangan Nayomi.
“Wait, Nay. Are you married?” Alya menarik tangan sahabatnya. Terlihat cincin berwarna perak melingkar di jari manisnya.
“Ini masih tangan kiri, Al. InsyaAllah, segera. Mohon doanya saja ya,” jawab perempuan blasteran itu tersipu malu.
“Alhamdulillah, Nay. I’m really happy for you.”
Mereka pun bergegas ke kamar Nayomi di lantai dua. Alya melihat sekeliling. Mendapati rumah sahabatnya sepi. Rupanya, Bu Diana tengah menghadiri acara sosial bersama teman-temannya, sedangkan Pak Tomy seperti biasa bekerja hingga sore hari.
Alhamdulillah. Alya duduk sekalian menaruh tas ranselnya di kasur Nayomi. Dia menelisik seisi kamar lantas tersenyum. Sementara Nayomi duduk di kursi meja belajar. Mereka pun berbincang-bincang soal kehidupan masing-masing. Nayomi bercerita tentang progres hafalan Al-Qur’annya yang sudah lebih dari 15 juz, calon suaminya yang ternyata satu pengajian dengannya, dan hal-hal lain yang membuatnya semakin takjub pada Sang Pencipta. Alya yang mendengarnya tak berhenti tersenyum dan memuji-Nya dalam hati. MasyaAllah. Bukankah hijrahnya seseorang menjadi lebih baik adalah pertanda bahwa Allah sangat mencintai hamba-Nya?
Sesaat satu ayat Al-Qur’an terngiang dalam benaknya. Fa-biayyi alaa’i Rabbi kuma tukadzdzi ban. Maka nikmat Tuhan kamu manakah yang kamu dustakan?
“Then, how about you, Al?”
Yang ditanya terdiam sejenak. Bingung apa yang harus diceritakannya karena baru-baru ini hanyalah cerita pilu yang menimpanya.
“Mei lalu... ibuku meninggal, Nay,” ujarnya ragu. Kepalanya tertunduk. Setiap kali dirinya menceritakan kabar duka ini, hatinya terasa seperti disayat-sayat. Dadanya sesak tak karuan. Lantas wajah ibunya kembali terbayang jelas dalam benaknya.
“Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un. Kenapa kamu baru memberitahu aku, Al?” lirih Nayomi. Dia pun duduk di samping sahabatnya lalu mendekapnya dan mengusap lembut punggungnya. Alya pun perlahan menangis dalam hening. “Semoga Allah menerima semua amal kebaikan ibumu ya, Al. Semoga ibumu diberi nikmat oleh Allah di alam kuburnya dan ditempatkan di surga-Nya. Yang sabar ya, Al. Doa yang banyak. InsyaAllah, doa anak yang sholeh menjadi pahala yang terus mengalir untuk orangtuanya.”
Mendengar kalimat terakhir, tangis Alya pun kian terisak-isak. Entah kapan hatinya akan setegar batu karang. Entah kapan dia akan berhenti dirundung kesedihan. Sungguh kepergian seorang ibu telah menyisakan luka yang dalam, luka yang tak tahu kapan sembuhnya.
“Percayalah Al, Allah Yang Maha Baik sedang menyiapkan kabar bahagia untukmu. Allah sendiri yang menjanjikan, ada kemudahan sesudah kesulitan.[1] Ada kesenangan sesudah kesedihan, Al,” lanjut Nayomi menenangkan.
Sungguh Allah Maha Kuasa Maha Penyembuh Hati setiap hamba-Nya.