Pernahkah kalian mencoba mengejar sesuatu? Mungkin impian atau cita-cita kalian. Mengejar suatu hal memang bukanlah pekerjaan mudah. Kalian harus cepat berlari, sedikit beristirahat saja kalian bisa tertinggal, namun kupikir hal tersulit untuk dikejar adalah mobil ikan!
Masih seperti pagi yang biasanya, aku dan seorang bocah laki-laki yang berkulit sawo matang, lengkap dengan rambutnya yang kriwel tak terawat persis sekali dengan senjata yang di pakai oleh manusia laba-laba untuk melawan musuhnya. Kami sedang berlari mengejar mobil ikan yang ada di pasar. Jangan salah sangka dengan kalimat mobil ikan tadi, yang kumaksud bukan mobil yang terbuat dari sekumpulan ikan atau mahluk laut lainnya, sungguh hanya Arthur Curry yang kurasa bisa melakukannya! Yang kumaksud adalah seonggok mobil tua ber-bak terbuka yang setiap pagi selalu mengantarkan ikan dari TPI (tempat pelelangan ikan) menuju pasar-pasar tempat tujuan pemborong.
Di kampungku yang bernama kampung pesisir di Cirebon, hanya ada empat mobil ikan yang masing-masing di nahkodai oleh Bang Juned, Mang Sarmin, Mang Jaya, dan Mang Yanto. Biasanya mobil-mobil itu mulai berangkat ke pasar atau kota sejak jam empat pagi. Mereka juga biasanya bolak-balik dari desa ke kota sekitar dua sampai tiga kali setiap paginya, dan mobil yang biasanya berangkat paling akhir sekitar jam enam, yaitu mobil ikan milik Mang Yanto si duda gila, kejam, sadis, dan bengis yang pernah kami kenal. Bukan tanpa alasan kami menggambarkan dia seperti itu, di seantero kampung kami ini dia memang terkenal sebagai lelaki keras yang suka berbuat onar, baik di pasar atau dimanapun tempat yang biasa dia datangi. Dia juga seorang pemabuk kelas kakap, mungkin karena dulu saat smp di sekolahnya belum ada kegiatan praktek kimia mencampur zat-zat senyawa yang akan menghasilkan reaksi yang berbeda-beda pula. Jadilah sekarang dia mengekspresikan rasa ingin tahunya itu, dengan sering mencampur-campurkan minuman keras yang dia beli dengan berbagai minuman lain, atau bahkan zat-zat yang tidak seharusnya masuk melalui kerongkongan kita, dan di cerna oleh lambung seperti mencampur miras dengan obat nyamuk oles, dan yang lebih gila lagi dengan SPIRTUS! Kamu taukan spirtus? Cairan berwarna biru bening berkilauan yang masih satu ras dengan minyak tanah, dan bensin itu. Namun sampai saat ini dia masih berjaya melawan maut! dan masih bisa tertawa puas saat melihat kami berlari meneriaki namanya.
Inilah kami, saingan berat bagi para calon atlit pelari jarak jauh maupun dekat. Sayangnya kami tak seperti seorang atlit marathon dalam olimpiade, kami hanya mengenakan sepatu warior belel yang merupakan warisan kakak, ataupun dibeli di penjual barang bekas di pasar, kami berdua adalah jago-jago lari alami, bahkan kami mungkin pelari tercepat sekampung, tak percaya? buktinya setiap 17 Agustus saat ada lomba-lomba kemerdekaan aku dan si Imdad selalu menjadi juara satu dan dua, dalam lomba balap karung. Kalau memakai karung saja kami sudah cepat apalagi berlari biasa! hebat kan? Itu semua berkat laki-laki berbadan preman, berkumis tebal dan berkulit gosong yang terus terkekeh di balik stang kemudi, di mobil ikan tua yang sedang kami kejar itu.
“Mang Yantooo! Mang tunggu Maang!” Teriak seorang bocah lelaki pendek dengan tas usang warisan kakaknya saat dia smp dulu, yang berarti sudah enam tahun lalu sejak dia lulus lalu ikut melayar, membantu ayahnya nelayan ikan, dan tidak meneruskan sekolah. Mengenaskan memang tapi bocah dengan rambut belah pinggir yang norak dan kumel, serta badannya yang kurus itu adalah aku. Aku Agus Rahman atau lebih dikenal dengan Agus si anak kampung, anak nelayan kecil di desa pinggir laut. Saat aku berjalan jangankan satu orang, bahkan seekor lalat kecil yang hina dan membawa banyak penyakit itupun tak akan mau melirikku.
“Jangan bercanda mang, kami ikut sampai sekolah!” Ini teriakan lain dari bocah berambut jaring manusia laba-laba itu, dia adalah Imdad, Imdad Gofar seorang anak yatim yang ayahnya telah meninggal tiga tahun lalu, nasib keluarganya tak terlalu jauh beda denganku. Dialah sahabat karibku, tetanggaku sejak kecil yang sudah kuanggap kakak sendiri, Rumah kamipun bersebelahan. Hal itu mengakibatkan semua kemalangan nasibku sejak kecil karena harus berteman dengannya! Ya dialah Imdad, yang juga murid didik langsung dari guru besarnya, Mang Yanto.
Aku sendiri sampai sekarang tidak mengerti apa yang membuatnya tertarik pada ajaran sesat Mang Yanto, dan masih mendalaminya sampai sekarang ini. Aku dan Imdad seolah memang di takdirkan untuk hidup bersama oleh tuhan. Riwayat hidup serta biografi keluarga yang senasib, orang tua kami yang saling bersahabat layaknya saudara(sama seperti kami) sayangnya ayah Imdad kini sudah almarhum, Rumah kami juga bersebelahan, di tambah lagi aku dan dia sejak sd bersekolah di sekolah yang sama. Tapi kenyataan pahit itu tidak berhenti sampai disitu saja! Kami juga sejak sd hingga sekarang kelas dua smp, selalu bersama dalam satu kelas dan kejamnya lagi, dia selalu mengklaim tempat duduk di sebelahku yang berarti adalah teman sebangkuku itu, selalu di hak milik oleh dia sejak dulu. Dia menuliskan “kursi Imdad” dengan tipe-x pinjaman di atas kursi itu, tak boleh ada satu orangpun yang menggantikan dia, No One! Tak terkecuali seekor nyamuk kecil yang ingin mengistirahatkan sayapnya sejenak, setelah lelah beterbangan dan menghisap darah manusia jika hinggap di bangkunya itu sudah pasti di pukulnya keras-keras, dengan buku tulis berkertas daur ulang kesayangannya—yang juga sebenarnya, itu buku satu-satunya. Begitulah malangnya diriku.
“Aku sudah lelah berlari mang, kalau tidak berhenti kulempar kaca mobilmu itu dengan batu besar ini!” Teriak Imdad sambil mengacung-acungkan batu besar yang di pungutnya dari pinggir jalan sambil berlari. Murid macam apa dia berani sekali mengancam gurunya sendiri. Tapi ternyata ancamannya itu ampuh luar biasa, mobil ikan Mang Yanto berhenti seketika, lalu dari jendela mobil tempatnya menyetir itu Mang Yanto menjulurkan mukanya dan menengok ke arah kami sambil terkekeh puas.
“Ayo cepat naik cung, pagi ini kalian lebih cepat lelah dari biasanya, kemarin-kemarin biasanya di perempatan jalan sana kalian baru bilang kelelahan berlari.” Kalimat yang aku sama sekali tidak tahu apa tujuan perkataannya itu, bercandakah? Mengejek atau memuji kami?(cung/kacung adalah sebutan di Cirebon untuk memanggil anak laki-laki)
“Haah..haah pagi ini beda mang, aku tidak sempat sarapan. Mimik kehabisan beras dan belum sempat beli lagi. Makanya aku tak punya banyak tenaga untuk meladeni candaanmu yang keterlaluan ini.” Imdad menjawab sambil dengan napasnya yang tersengal-sengal kelelahan. (Mimik adalah sebutan yang biasanya digunakan anak kampung kami untuk memanggil ibu, dan mamak untuk memanggil ayah)
“Ya sudah, cepat kalian naik.” Mang Yanto terlihat tersenyum mendengar jawaban Imdad.
Kamipun segera melompat ke atas bak mobil yang sudah terisi penuh oleh bertumpuk-tumpuk drijen dan tong berisi pasukan mahluk laut berOmega-3. Diatas kap itu ada Mang Jaya, partner kerja Mang Yanto yang bertugas mengangkut tong ikan dan menjaganya agar tidak ada hal buruk terjadi saat perjalanan. Tak heran bau kami setiap hari di sekolah seperti ikan teri.
“Capek cung?” Tanyanya sambil tertawa.
“Pakai ditanya lagi, huu.” Aku langsung mengambil posisi bersender kepintu bak belakang.
“Kalian ini kalau datang terlambat terus, ya jadi bahan bercandaan si Yanto itu.”
“Ya habis bagaimana lagi mang, kitakan sebelum berangkat mesti nimba air dulu buat mandi, nyapu bantu-bantu orangtua di Rumah. LagImdada jarak dari Rumahku kesinikan cukup jauh, 10 menit berlari dan tidak tahulah berapa menit kalau kami berjalan karena setiap pagi kami selalu buru-buru berlari mengejar Mang Yanto.” Aku menjawab sambil mencibir dan mencoba mencari posisi paling nyaman yang bisa kudapat di sisa tempat yang sempit di kap mobil tua itu.
“Apalagi aku mang, Mamakku sudah tak ada dan aku anak paling besar di keluargaku mana aku juga punya seorang adik perempuan lagi, ya habislah aku di suruh-suruh oleh mimikku. Tapi tidak apa-apa biar saja semua itu kuanggap latihan untuk mengasah otot-otot di badanku ini mang, biar besar kayak Ade rai.” Imdad mengatakan hal itu dengan yakin dan mantap lengkap dengan gaya binaragawan yang memperlihatkan otot tangannya yang faktanya tidak berotot sama sekali, akibatnya aku dan mang Jaya tertawa terbahak-bahak mendengar kalimat polos si rambut laba-laba itu.
“Itu baru murid kesayangan mamang! Hahaha..” Tiba-tiba Mang Yanto berteriak, rupanya dia juga dari tadi mencuri dengar obrolan kami lalu dia ikut tertawa dengan kami semua.
Kalau kupikir lagi sebenarnya aku bahagia setiap kali ayam Jago milik Haji Ridwan berkokok, aku merasa bersemangat di pagi buta saat lantunan suara muadzin terdengar dari spiker biru karatan yang sudah berpuluh kali di perbaiki, dan aku selalu merasa senang bisa mengalami momen yang hangat sambil tertawa bersama Mang Jaya, Mang Yanto dan Imdad di pagi hari yang masih cukup dingin. Kegiatan yang cukup menyenangkan untuk mengawali hari berat dan tak terdugaku bersama si biang kerok nomor dua.
Setelah berjalan agak lama sejenak mobil tua itu berhenti di hadapan cahaya agung berwarna merah, yang tak menyilaukan mata, tapi membuat hati ini menaruh rasa enggan untuk melawannya laksana dialah raja jalanan siapapun yang melawan akan di kejar abdinya yang setia dan setelah itu di beri surat tilang.
“Ambil ini Dad, kamu juga Gus.” Kata Mang Yanto sambil menyodorkan dua bungkusan kecil hangat berisikan cairan putih yang rasanya teramat gurih dan lezat, dua bungkus susu sapi murni yang biasa dia beli di mamang penjual susu dan rokok di TPI tadi.
“Buat kami mang?” Tanyaku heran.
“Bukan buat kalian tapi buat isi bensin mobil ini!”
“Wadaah, memang mobil ini bisa di isi pakai susu sapi mang?” Tanyaku takjub seperti anak polos yang terkagum, dengan mata berbinar saat di dongengi oleh neneknya cerita Jakatarub yang sering mengintip para bidadari di sebuah sungai, sambil dalam hati berharap semoga bidadari itu sudi mandi dalam kamar mandi rumah kami.
“Kacuung, kacung.. buat apa kamu sekolah sampai smp kalau perkataanku tadi saja kamu percaya. Hei Imdad lihat temanmu yang bodoh ini.” Tapi Imdad Gofar si anak nelayan miskin itu malah jauh lebih berbinar matanya daripada aku terhadap perkataan sang guru besar.
“Aduuh, anak-anak zaman sekarang seperti ini rupanya, pantas Indonesia tidak pernah masuk piala dunia lagi. Minum saja itu supaya kalian sedikit ada tenaga untuk belajar!”
Aku makin tak percaya dengan apa yang kudengar dan kulihat, Mang Yanto berbaik hati seperti ini kepada kami? Ini memang benar-benar akhir zaman.