Di Atas Atap

izul rahman
Chapter #3

03. Sepucuk Surat Pak Mus

Kurasa aku masih cukup waras karena tidak memperhatikan pelajaran sejarah yang sedang diberikan Pak Harris, guru killer nomor 3, entah kenapa sekolah kecil dan kumuh ini gurunya killer semua, pasti karena masih banyak yang honorer. Pak Harris yang lebih familiar dengan sebutan Mr. Je—singkatan dari Mr. Jenggot karena jenggotnya yang terurai panjang dan lebat di bawah dagunya yang membuat dia mirip seperti peppy. Aku terus memikirkan tentang surat yang di berikan Pak Mus kepadaku dan Imdad tadi pagi. Apa gerangan isinya? kalau memang bukan surat pemecatan dari sekolah ini. Tapi akupun masih bisa berpikir positif bahwa isinya memang benar-benar sertifikat penghargaan dari Pak Mus. Aku benar-benar di buat penasaran oleh tiap-tiap kata yang tertulis dalam lembaran kertas yang ada dalam surat itu.

“Agus, maju.” Suara yang tidak terlalu keras di ucapkan namun terdengar di seluruh kelasku itu jelas berasal dari mulut Mr. Je.

Inilah kebiasaan yang selalu ia lakukan setiap kali mengajar, mencari para kandidat yang pada akhirnya akan selamat, dan berhasil kembali ke tempat duduk kayunya yang akan selalu terasa lebih nyaman di duduki setelah kembali, atau bersiap menghadapi 3 pilihan dengan tujuan mulia. 3 tujuan mulia itu adalah :

1.     Menjadi Sehat berarti, Olah raga dengan berlari keliling lapangan beberapa kali, push up berkali-kali, skot jump berpuluh kali dan sit up tak berhingga.

2.     Menjadi Pintar berarti, membuat rangkuman empat lembar kertas polio di tulis dengan tulisan tangan dan tegak bersambung.

3.     Dan Berpahala alias, membersihkan wc sekolah yang kotornya minta ampun, atau membersihkan masjid sekolah.

Sungguh tiga tujuan mulia sekali, terimakasih bapak Harris tercinta, kami selalu menghormatimu.

Kali ini aku terpilih menjadi salah satunya, sejujurnya aku memang hampir selalu maju menjadi kandidat di setiap pertemuan.

“Siap, Sir.” Aku menjawab. Berjalan maju ke depan kelas, berdiri di samping Husni kandidat pertama yang terpilih dan akhirnya gagal.

“Coba ceritakan kembali tentang kerajaan singasari.” Itulah tema yang kudapat kali ini. Mr. Je memang selalu adil dalam memberi pertanyaan. Di setiap akhir pertemuan kami, beliau akan memberitahukan apa yang akan di bahas dalam pertemuan selanjutnya dan tanpa disuruh lagi kami harus otomatis membaca buku sejarah kami di malam hari sebelum besoknya bertemu muka dengan Mr. Je dan pelajaran sejarahnya.

“Singasari?” Gumamku dalam hati. Tenang, Gus, tenang. Aku dan Imdad pernah di ceritakan pengalaman saat dulu Mang Yanto menjadi petugas pemadam kebakaran selama dua bulan. Katanya, hal yang paling penting saat menghadapi keadaan genting dan berbahaya seperti kebakaran adalah harus bersikap tenang. Tanpa ketenangan hati, para pemadam kebakaran yang datang akan sama saja dengan orang-orang yang Rumahnya terbakar, atau tinggal di dekat tempat kebakaran, kalian mengerti maksudkukan? Apa gunanya pemadam kebakaran jika mereka sama paniknya dengan orang awam? Mereka telah dilatih dan memang disiapkan untuk menangani hal-hal seperti itu, begitulah hebatnya para pemadam kebakaran. Para pria tangguh penakluk api. Sesuai moto mereka, pantang pulang sebelum padam.

Aku harus tetap tenang dan pelan-pelan mengingat kembali apa yang kubaca tadi malam. Ya sedikit lagi, hampir aku ingat apa yang semalam aku baca hanya tinggal sedikit lagi memutar otakku. Bingo! Akhirnya aku ingat juga, ternyata semalam aku tertidur setelah shalat isya dan lupa membaca. Aku tidak tahu apa-apa, gawat!

“Lama sekali, Gus. Bisa tidak? Apa semalam kamu tidak baca ya?” Mr. Je menatapku dengan senyumnya yang khas—seakan ingin memberikan bendera putih untuk kukibarkan.

Aku menatap matanya sebentar lalu menunduk, aku bagai tawanan ekstrimis-ekstrimis belanda pada saat tanah air kita belum merdeka. Ku angkat sekali lagi kepalaku dan melihat ke arah murid-murid lain yang sedang duduk tegang di bangku kursi mereka yang masih terasa berduri seperti tangkai mawar. Tatapanku berhenti pada Imdad, kutatap dia dengan penuh harapan. Seperti dalam kisah religi yang pernah kudengar, saat seseorang tabib(dokter) yang hampir di hukum mati karena telah memperkosa dan membunuh pasiennya sendiri yang seorang putri bangsawan. Dia melakukannya karena menuruti bujuk rayu iblis yang selalu menggodanya terhadap kecantikan sang putri bangsawan, tangan dan kakinya di rantai sehingga dia tidak bergerak sama sekali di saat itulah iblis kembali datang dan berkata.

“Hanya aku yang dapat menolongmu saat ini, jika kamu mau berlutut kepadaku aku akan dengan senang hati menolongmu.”

“Tapi tangan dan kakiku tak bisa bergerak.” Kata tabib.

“Kalau begitu cukup kamu tundukkan kepalamu dengan niat menyembahku itu sudah cukup.” Kata iblis.

Rayuan terakhir sang iblispun kembali berhasil, sang tabib menundukkan kepalanya dan berharap iblis itu mau membantunya.

“Hahaha..manusia bodoh, dulu kamu menuruti ucapanku untuk memperkosa dan membunuh putri itu, sekarang kamupun mau menyembahku. Tak ada lagi yang bisa menolongmu saat ini dan di akhirat nanti, karena kamu telah menyekutukan tuhanmu.” Iblis tertawa lalu menghilang meninggalkan sang tabib yang baru saja menyadari kebodohannya.

Begitulah keadaanku saat ini, hampir mirip dengan sang tabib. Aku sedang menatap iblis yang selama ini selalu merayuku dengan ucapan dan senyumannya selama ini. Kali ini aku terancam tidak dapat kembali ke kursi kayuku yang terlihat nyaman dari depan kelas ini. Apalagi yang bisa kulakukan selain berharap iblis bernama Imdad itu membantuku.

“Ken arok, GombalTV.” Sepertinya itulah yang di ucapan yang dikatakan Imdad dengan tanpa suara itu. Kulihat gerakan bibirnya dan aku yakin itu memang hal yang dikatakannya. Tapi apa-apaan itu?! Di saat seperti ini dia malah mengatakan judul film laga yang tayang setiap malam di GombalTV?

Aku mencoba berpikir lagi apa yang hendak Imdad beritahukan padaku. Apakah kalimat yang dia katakan itu adalah sebuah kode yang harus kupecahkan dengan Rumus-Rumus pascal? Atau sebuah susunan kalimat invers yang berjenis terbuka atau tertutup!?

Aku mengingatnya, ya film laga kesukaanku dan Imdad yang sering kulihat di televisi di Rumah tetanggaku setiap pukul tujuh malam itu bercerita tentang.. zaman kerajaan Singasari! Aku ingat, sangat ingat dengan jelas cerita film itu. Terimakasih, Dad. Aku tahu kamu bukan iblis yang ingin menyesatkanku seperti sang tabib.

“Ehm..begini, Pak.” Itulah kalimat pertama yang kuucapkan dengan penuh keyakinan dan semangat. Kalau cuma bercerita tentang singasari, ken arok, ken dedes, tunggul ametung dan keris empu gandirng saja sih, aku siap karena sudah menerima banyak pelajaran dari tiap episode yang kutonton. Setelah itu aku menjelaskan dengan cukup panjang lebar, tidak seperti teman-teman lain yang hanya mengatakan kata-kata yang ada dalam buku karena semalam mereka susah payah mengingat, aku menceritakan tentang singasari jauh lebih baik, setidaknya aku cukup mirip dengan seorang dalang yang sedang berdongeng.

“Sudah selesai, Pak.” Ujarku.

“Yak bagus, silahkan kembali ke tempat duduk.” Hanya kalimat seperti itu saja, tapi entah kenapa sangat lega. Aku berhasil, aku mendapatkan satu tiket emas menuju kursi kayu nyamanku yang penuh tipe-X itu. Dengan senyum mengembang aku berjalan dan duduk kembali.

“Fiuuh, terimakasih, Dad.” Aku menyodorkan tanganku. Imdad menyambutnya dan bersalaman.

“Kamu sudah seperti Asep Sunarya sedang mendalang aja tadi.” Kata Imdad terkekeh pelan.

Lihat selengkapnya