Hal pertama yang menyambutku pada saat aku membuka mata adalah pesan singkat dari Tante Noor.
Kayla,
Mungkin kamu nggak butuh permintaan maaf Tante,
tapi tante atas nama Om Adil dan Tante Inggrid
meminta maaf kalau jalan keluarnya seperti ini.
Kami melakukan ini demi melindungi Bianca.
Lagipula, seperti kata Om Adil,
rumah itu memang rumah waris.
Sebenarnya ini berat bagi kami.
Kalau kalian mau bantuan, kami akan berusaha
membantu sesuai dengan kemampuan kami.
Semoga dengan begini, kita semua bisa terlindungi.
Tanpa pikir panjang, aku langsung menelepon Ji.
“Halo?” Mendengar suaranya mengingatkanku kalau tidak semestinya aku menghubunginya lagi.
“Sori… Gue… Lo lagi sendiri?”
“Kenapa?”
Kepalang tanggung, aku menceritakan semua hal yang terjadi sejak kumpul makan siang hingga akhirnya mendapatkan pesan yang baru kuterima dari Tante Noor.
“Ji, gue kesel. Gue marah. Gue emosi. Kalau bisa gue datengin ke rumahnya, gue datengin. Gue pukul. Gue ROBEK syal-syalnya yang mahal itu. Kalau bisa gue bikin anak-anaknya dia susah, gue bikin sulit. Masalahnya ngeliat nama dia muncul di layar handphone gue aja gue udah muak. Gimana kalau gue ngeliat mukanya langsung?”
“Oke…”
“Kenapa dia bilang, ‘Ini berat bagi kami’? Beratnya, tuh gimana? Emangnya mereka yang harus pusing-pusing cari kosan? Yang pusing-pusing pindahan? Yang pusing-pusing ngatur keuangan dengan gaji yang super mini kayak gaji gue?”
“Nik…”
“Kenapa nggak ada yang ngerti kenapa gue marah? Kenapa nggak ada yang ngerti kenapa gue bisa semarah, sekesal, sesedih ini? Gila, ya ini orang! Gue sumpahin-”
“Arunika mau dengerin gue apa nggak?”
Aku menelan ludah.
“Suara lo masih serak-serak bangun tidur. Masa masih belekan udah marah-marah?” Tanpa melihat wajahnya, aku bisa membayangkan ekspresinya yang sedang mengejekku.
“Gue tahu, Nik. Lo marah. Lo pusing. Lo ngerasa nggak adil. Lo ngerasa dikhianati sama orang yang lo sayang.”
Ji memberikan jeda beberapa detik sebelum lanjut bicara.
“Tapi, Nik. Kalau lo mau marah, kalau lo mau mukul, kalau lo mau mempersulit hidupnya seperti dia mempersulit hidup lo…” Dia berhenti lagi. “Nggak worth it, Nik.”
Kepala dan dadaku yang tadinya terasa berat pelan-pelan melembut. Napasku tidak sependek-pendek seperti ketika membaca pesan dari Tante Noor. Aku duduk di pinggir tempat tidur dengan kaki kanan yang bergetar menginjak-injak ubin.
“Pernah dengar, nggak? An eye for an eye, the world goes blind. Gue nggak akan pura-pura paham apa yang lo rasakan. Tapi saran gue, kalau lo mau bicara sama tante lo itu, bicaralah baik-baik. Karena-”
Telepon kami terputus setelah aku mendengar ada suara pintu yang terbuka dari tempatnya.
Bodoh juga masih mengharapkan Ji untuk dapat menampung keluh kesahku saat sudah jelas-jelas dia bilang dia sudah punya seseorang di kehidupannya. Kalau bukan karena emosi atau kebiasaan, pasti aku sudah berpikir dua kali sebelum membuat keputusan untuk menelepon Ji.
Karena masih belum merasa lega, aku menelepon Harshita. Si Dora versi lokal itu mengangkat teleponku sambil menguap. Karena tidak mau mengulang cerita dari awal, aku mengirimkan pesan dari Tante Noor kepadanya.