“Langsung masuk ke topik pembicaraan saja, ya.”
Kuhargai ketiga orang tua yang datang ke undanganku. Tante Noor, Om Adil, dan Tante Inggrid datang dengan otot wajah yang terjatuh seperti anjing bulldog. Tante Noor menekan-nekan sesuatu pada layar ponsel dan meletakkannya telungkup di atas meja. Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak menyeringai. Kunyalakan alat rekam suara di ponselku dan meletakkannya berhadapan dengan ponsel Tante Noor.
“Percakapan ini sengaja saya rekam, ya.”
Tante Noor mengambil ponselnya kembali, melemparnya ke dalam tas, dan mengerucutkan bibi merah cabainya.
“Alasan saya di sini adalah karena saya marah. Saya kesal dan saya merasa tidak adil.”
“Arunika, masa ngomongnya formal banget begitu, sih…” sela Tante Inggrid. “Kenapa saya bicara formal, ya supaya saya perasaan saya nggak bisa diperlakukan secara semena-mena lagi.”
Mereka diam.
“Sebelumnya… kami minta maaf ya, Run. Bukannya mau mengusir…”
“Saya nggak merasa diusir. Bagaimana pun juga saya tahu itu bukan tempat tinggal saya. Cepat atau lambat, saya pasti pergi dari situ. Tapi ada satu hal yang membuat saya sangat heran. Tante Noor.”
Bibir merah cabai Tante Noor terlihat sedikit memudar.
“Saya agak kaget, sih. Bahkan setelah Tante Noor tanya-tanya masalah kerjaan saya, menyindir-nyindir untuk keluar memulai kehidupan sendiri secara mandiri, dan setelah saya jelaskan saya PRIBADI belum bisa menyanggupi hal tersebut dalam waktu dekat, ternyata jalan keluar yang dipilih adalah meminta saya keluar dari tempat Kakek.
“Sekali lagi, saya tidak merasa diusir karena saya pasti harus pergi. Tapi kenapa alasannya adalah demi melindungi Bianca, ya?”
“Ya, kan Bianca anak perempuan. Harus dilindungi,” balas Tante Noor.
“Saya?”
Mereka bertiga tidak berkutik.
“Saya dan Kak Kayla juga perempuan. Apakah kami juga tidak butuh dilindungi? Apakah dengan tidak adanya ibu kami, adik Anda, kami jadi bukan anak perempuan lagi?”