Di Atas Kaki Sendiri

Adriani Putri
Chapter #3

Lilac di Rumah, Tulip di Musim Semi

Satu setengah tahun berlalu semenjak Mama pergi. Aku dan Harshita sudah hampir tidak pernah bertemu karena kami berdua memutuskan untuk pindah tempat kerja. Lidya setidaknya menyempatkan diri pulang ke Indonesia setiap tiga bulan sekali. Tentu saja tujuan utamanya adalah menemui orang tuanya. Bisa bertemu denganku adalah sebuah keberuntungan. Karena walau bagaimana pun juga, aku masih seseorang yang akhir pekannya disibukan oleh kerjaan-kerjaan sampingan.

Banyak hal yang berubah di sekelilingku. Kafe yang selalu kudatangi untuk mengejar tenggat waktu itu sudah berubah menjadi sebuah butik. Sepanjang jalan di pinggir makam Mama kini ditumbuhi bunga-bunga lilac ungu yang memanjakan mata. Taman bermain yang kukunjungi bersama Ji sedang ditutup untuk renovasi. Rumah makan yang aku dan Harshita kunjungi sekarang memiliki rumah anjing terbuat dari batu bata di depan pintu masuknya. Seperti rumah untuk manusia kerdil. Tempat makan yang Kak Amor jadikan tempat berkumpul sudah tutup dan pindah lokasi bisnis. Sedangkan, kafe yang kudatangi bersama Lidya telah menambahkan setidaknya sepuluh menu kue baru.

Ternyata menjadi orang dewasa yang sibuk memang tidak mengukur tingkat kedewasaan dan kemandirian. Sesibuk apa pun diriku, aku masih sering merasa ketakutan saat harus dihadapkan dengan sesuatu yang baru atau saat sedang harus membuat sebuah keputusan penting. Masih sering kuberharap Mama ada untukku di waktu-waktu tertentu, terutama saat aku ingin berbagi cerita. Karena sedekat apa pun aku dengan kakak-kakak atau teman-temanku, tidak semua hal bisa dengan gamblang kuceritakan seperti jika aku sedang bercerita dengan Mama.

Keputusan terbesarku selama dua puluh lima tahun aku hidup baru saja kubuat dua bulan yang lalu.

“Urusan bagasi bagaimana?” tanya Ayah. Walaupun kami duduk bersebelahan, ada satu kursi kosong di antara kami.

Tuduhan yang dilemparkan kepada Ayah sempat dibawa ke meja hijau. Dari sudut pandang Ayah, beliau tidak pernah menyentuh Bianca sama sekali. Memang benar mereka bertemu di dekat toilet rumah makan itu. Ayah yang sudah tua dan tidak dapat menahan rasa ingin buang air kecilnya mengira tidak ada orang selain dirinya di kebun itu. Dia mengaku membuka celananya di depan pintu toilet, dan mendorong Bianca saat menyadari kehadirannya. Didoronglah perempuan itu dan Ayah selalu mengunci diri di dalam bilik toilet. Yang beliau tidak tahu, ternyata tangannya mendorong dada Bianca.

Dengan penuh rasa sesal, Ayah meminta maaf. Juri tidak bisa menjatuhkan hukuman padanya. Orang tua berambut putih itu sudah berumur enam puluh tahun dan menunjukkan gejala-gejalan kepikunan. Bahkan sebelum pergi ke pengadilan, Ayah keluar rumah hanya memakai kaos kutang dan celana bahan. Dari dulu pun dia sudah memiliki kesulitan bersosialisasi dengan orang-orang di sekitarnya. Sifatnya yang kikuk dan tidak pernah nyambung saat diajak bicara semakin mempersulit para juri dalam membuat keputusan. Pada akhirnya, mereka menghukum Ayah dengan menyuruh anak-anaknya untuk membawa Ayah berobat dan terapi.

Tentu saja Bianca tidak puas. Aku pun tidak dapat menyalahkannya. Tapi setidaknya kami sudah berusaha membuat pihak keluarganya sedikit bisa lebih tenang: kami sudah tidak tinggal di belakang rumah mereka. Jauh ke belahan Jakarta bagian terdekat dengan rumah sakit tempat Ayah berobat. Bianca mendapatkan rasa aman yang diusulkan oleh orang tua dan tante-omnya. Para tante dan om mendapatkan harta waris yang mereka inginkan.

Aku? Aku mendapatkan pelajaran untuk tidak menjadi seperti tante dan omku.

“Sudah masuk semua. Tenang aja.”

“Nanti transit dulu?”

Aku mengeluarkan tiket dari tas dan langsung kembali memasukkannya. “Nggak, kok. Langsung empat belas jam ke Amsterdam.”

Walaupun aku tahu Ayah tidak sepenuhnya bersalah, rasa takut itu tetap ada. Pikiran-pikiran yang menakutiku dan sedikit rasa tidak percaya, "Bagaimana kalau ternyata dia benar-benar bersalah? Bagaimana kalau dia bohong? Bagaimana kalau aku bisa jadi korban berikutnya?", terus menghantui.

Pergi ke Amsterdam bukan berarti aku menghindarinya. Tidak masuk akal jika mengamankan diri adalah alasan utamaku. Justru setelah pergi dari sini, aku akan dihadapi oleh lebih banyak ketidak tahuan yang pasti membuatku lebih merasa takut. Hanya saja, jika aku tidak pergi, aku akan tetap menjadi seorang anak manja yang terus-terusan mencari orang lain untuk menggantungkan diri. Di Amsterdam nanti, aku tidak punya siapa-siapa. Aku akan dikelilingi orang-orang baru nan asing. Aku harus bisa melakukan segalanya sendiri. Jika mentok, barulah aku akan mencari bantuan.

“Mau ikut…” Bibir Kak Kayla mengerucutkan bibirnya seperti anak bebek.

“Ikutlah! Nggak ada yang larang.”

“Ajak Ayah, tuuuh. Ayah juga mau ikut kali,” goda Kak Amor.

Ayah menggelengkan kepala sambil mengerutkan dahinya. Tapi namanya juga Ayah, dia hanya tidak mau terlihat lemah di depan anak-anaknya.

Lihat selengkapnya