Pasuruan
Dengan sepasang tangan masih terselip di dalam kantong celana, Kesawa memandangi punggung anak perempuan dan laki-laki yang mulai berjalan menjauhinya. Langkah kaki mereka ringan sambil sesekali melonjak kegirangan. Seulas senyum seketika mengembang di kedua sudut bibir Kesawa yang sedari tadi membentuk garis lurus.
“Berhenti memberikan uangmu pada mereka!”
Gadis berambut ikal sepunggung itu terperenyak. Ia menoleh ke kanan. Seorang remaja kencur berjalan melaluinya dengan suara yang mendesis. Ia tatap celana sekolah anak itu yang sedikit kekecilan. Warna birunya terlihat semakin gelap di bawah bayang malam yang muram.
“Khawatirkan saja dirimu! Aku bisa mengatasi masalahku sendiri ...” teriak Kesawa ke arah remaja kencur itu.
Sejemang langkah anak laki-laki itu melambat. Tampak ia berusaha keras untuk tak menoleh ke arah Kesawa. “Jangan datang lagi ke sini! Lupakan saja pria brengsek itu dan hiduplah bahagia.” Remaja kencur itu memacu langkah menuju sebuah rumah papan di balik rimbun bambu. Menyusul kedua adiknya yang lebih dulu tiba di sana.
Kesawa masih terpaku pada pertigaan jalan setapak. Tatapnya mengiringi kepergian ketiga anak itu. Senyumnya memudar seiring kesepian yang datang. Ia hela napas sejadinya. Pada sepasang matanya terlihat rekahan yang siap menumpahkan lara.
Ia berbalik. Terus berjalan menyusuri baja-baja rel kereta. Sesekali terantuk, membuat langkahnya menjadi gaguk. Kabut memendarkan lampu-lampu kuning di teras rumah-rumah papan yang temaram. Ujung jemari lembapnya menyusuri permukaan kasar semak beluntas yang basah. Berderet membatasi kedua sisi kereta rel kereta dari rumah dan kandang ternak warga.
Ia buka kembali gumpalan kumal di saku celana panjangnya. Entah sudah berapa banyak ia membaca deretan aksara di permukaannya. Hingga hapal pada setiap kata dan susunan lekuk huruf tegak bersambung yang tertoreh di sana. Nasibnya malam ini berada di dalam genggaman tangannya. Di dalam selembar kertas kumal yang kata-katanya tak tergenapi. Begitu ganjil dan melukai.
Dadanya nyeri.
Perutnya memberontak.
Ia berlari ke tepi. Tangan kirinya meraba-raba dinding gedek yang dipenuhi rabuk putih. Aroma apak, tanah basah, dan tahi busuk menguar menyuruk ke dalam raga. Bunyi lenguh dan lecut ekor kerbau di dalam kandang yang mengusir penyengat, membawanya kembali dalam kesadaran.
Di bawah temaram bohlam kuning salah satu kandang, ia muntahkan seluruh isi perutnya. Tak bersisa. Hingga mulutnya terasa masam. Dagu mungil itu tertunduk hampir melekat ke dada. Satu punggung tangan dengan kilat menyeka bulir bening yang hampir mengular di pipi.