Pasuruan
Angin bergulir dari celah-celah dinding papan yang mulai melapuk. Dengkuran Wagiyo menjadi satu-satunya penanda bahwa mereka telah berhasil melalui satu lagi hari dengan penuh ketakutan dan ketakberdayaan. Dua adik laki-laki Kesawa bergelung di bawah selimut sarung. Di sisi lain, dipan besi tanpa kasur berkeriut setelah keheningan yang mencekam.
Sinar, kakak Kesawa, mengerjap-ngerjapkan mata. Mendapati Kesawa duduk membelakanginya di tepi ranjang, gadis berkulit gelap itu segera bangkit. Ia gelung rambut sepinggangnya dengan cepat dan menarik bahu Kesawa yang gemetar.
Ia terpekik melihat darah segar yang meleleh dari lengan adiknya.
“Apa yang terjadi?” Ia mengambil kain basah. “Marilah aku obati lukamu.”
Sinar membersihkan luka di tangan Kesawa. Ia lakukan semuanya dengan hati-hati agar tak membangunkan kedua adiknya yang lain, Andan dan Ahmad.
Kesawa masih bergeming. Ia tidur memunggungi Sinar tanpa suara. Matanya terkatup rapat mencoba menahan deras air mata.
Sinar berkerut dahi melihat tingkah Kesawa. “Menangis tak akan membuatmu lemah,” bisik Sinar sambil mengela napas berat. “Tumpahkan saja semua.”
Gadis itu masih membisu.
“Kau tak pernah menangis setiap kali bapak memukulimu. Tapi ada apa denganmu sekarang?” Sinar membelai puncak kepala Kesawa.
Kesawa tak kuasa lagi membendung gemuruh di dadanya. Tangis tanpa suara itu pecah. Membasahi bantal kapuk yang sudah lama mengeras. Kenangannya terseret ke dua tahun yang lalu. Saat usianya belum genap delapan belas. Saat ia baru menanggalkan seragam putih abu-abunya.
Pemuda yang pemalu itu datang dengan kegugupan yang nyata untuk menemui bapaknya.
“Izinkan saya menikahi Kesawa, Pak. Saya sudah memiliki pekerjaan. Membuka usaha mebel kecil-kecilan di palataran rumah.”
Tidak mudah untuk mendapatkan restu dari Wagiyo, ketika Sinar sebagai putri tertua bahkan belum ada yang melamar. Tapi pemuda ndeso itu mampu meluluhkan kekerasan watak sang bapak. Hingga tanggal pernikahan berhasil ditetapkan. Lalu pada suatu hari, pemuda itu hilang begitu saja.
Kesawa tidak tahu kesalahan apa yang telah diperbuat, hingga petaka ini harus merundung dan menimpanya. Kini, kesakitan dan kekecewaan itu mendorong Kesawa secara naluri untuk menangis lebih kencang. Lagi dan lagi. Berharap waktu dapat berhenti tepat pada saat itu. Pada saat bapaknya menerima lamaran dari pemuda yang dicintai putrinya.
Kesawa menyusut air matanya yang tak juga mengering. Ia jejalkan sebanyak mungkin udara dingin ke rongga dada untuk menghentikan isakan.
“Aku mencoba melemparkan tubuhku ke depan rangkaian gerbong kereta yang melaju!”
Tangan Sinar terangkat dari punggung Kesawa. Bibirnya seketika menganga lalu terkatup. Ia bahkan tak punya keberanian untuk sekedar memberikan penghiburan. Cepat ia dongakkan kepala dan mengalihkan pikiran. Kembali mengoleskan minyak tawon ke luka di lengan Kesawa yang sudah ia bersihkan.