DI BALIK DINDING RUMAH TUA GRISSE

Tias Yuliana
Chapter #4

4

Pasuruan

Asap putih membumbung dari celah-celah genting yang menghitam karena jamur. Keretak carang bambu terakhir mengiringi percikan bara-bara kecil di sekitar tungku tanah. Tangan mungil Ahmad mengorek sisa abu dan bara dari lubang tungku menggunakan batang kayu angsana basah.

“Perlahan saja. Kau bisa terluka karena bara itu,” tegur Kesawa sambil berdiri di belakang Ahmad. Ia angkat dandang yang pantatnya menghitam dengan bantuan lap. Meletakkan dengan hati-hati ke lantai tanah yang bergelombang. Uap panas segera mengepul saat tutup dandang tersibak. Menguarkan aroma manis jagung bercampur nasi yang baru tanak.

“Aku bisa mencium wanginya!” Teriakan Andan beriringan dengan lenguh sapi-sapi di kandang belakang.

“Kau tak pernah salah membedakan aroma teletong sapi dan nasi jagung!” Sinar membalas teriakan Andan dari arah sumur.

Derit rem yang melengking membisukan candaan mereka di pagi itu. Wagiyo turun dari sepeda tuanya dengan menjinjing tempayan susu yang sudah kosong. Kemeja abu-abu lusuhnya terlihat basah karena keringat. Sepagi itu. Dengan mata merah dan rambut ikal awut-awutan, ia masuk ke dalam rumah dengan wajah lelah.

“Para bandit itu tak pernah memberikan harga yang bagus untuk susu-susu kita. Sialan!”

Andan muncul di ambang pintu dengan pakaian yang dipenuhi rumput kering. “Setiap pagi kami tak pernah terlambat memerah. Sapi-sapi itu makan dengan baik. Tak mungkin susu kita kualitasnya menurun!”

“Kau menuduhku berbohong? Bocah tengik!” Wagiyo melemparkan buku catatan setoran susu ke koperasi.

Andan hanya meliriknya sekilas dan berlalu tanpa bersuara.

“Jam berapa ini? Kenapa kalian masih belum pergi ke sekolah?”

Denting logam tempayan susu yang kosong membuat Kesawa yang tengah menyiapkan sarapan tersentak. Wagiyo melemparkan dengan sekenanya di atas amben dengan kasar. Lalu duduk di sisi terjauh amben dengan menjengkang kaki.

Dada Kesawa bergemuruh. Ia tahu sikap kasar Wagiyo pagi itu ditujukan pada dirinya.

“Jadi kalian mulai berani mengabaikanku?” Wagiyo beberapa kali memantik korek menggunakan jari bengkungnya dengan susah payah.

Tak ada yang menjawab. Mereka masih bergeming di depan piring. Melingkar di atas ambin besar di ruang tamu. Bahkan Ahmad dengan tangan gemetar, menyidu nasi dan sayur daun genjer yang masih panas ke atas piring seng. Sepelan mungkin agar tak menimbulkan bunyi.

“Kau juga tak akan bersuara?” pekik Wagiyo sambil menuding Kesawa. Ada ketersinggungan dalam suara serak Wagiyo. Ia hembuskan asap putih tebal dari mulut dan hidungnya dengan tergesa.

“Pergilah kalian ke sekolah. Sudah terlalu siang.” Ia kembali tenggelam ke dalam isapan keretek murahannya. “Dan kau Kesawa, hari ini juga kau harus pergi bekerja di tempat baru. Susah payah aku membayar panjar agar kau bisa mendapat pekerjaan ini.”

Kesawa terbelalak. Ini terlalu tiba-tiba. “Biar aku berjualan tahu saja di pasar Lekok seperti biasa!”

Wagiyo bangkit. Menyingkirkan piring yang diberikan oleh Sinar. Ia ambil bekal makan siangnya dan bersiap pergi.

“Pak, aku tidak bisa!” teriak Kesawa tertahan.

Wagiyo berdiri di ambang pintu membelakangi anak-anaknya. “Kenapa? Kau masih mau menunggu pemuda brengsek itu? Sudah dua tahun dan dia tak pernah muncul!” Giliran Wagiyo yang berteriak lantang.

Tidak ada yang dapat melihat bagaimana air muka Wagiyo di balik punggungnya yang menegang. Tetapi, Kesawa melihat kepalan itu. Buku-buku jari Wagiyo memutih. Kesawa semakin erat menggenggam pinggiran roknya yang kaku.

Wagiyo pergi setelah mengaitkan kresek berisi bekal makan siangnya di setang sepeda. Mengayuh dengan perasaan yang tak terbaca. Hanya punggungnya yang menjadi penegas kabar duka.

***

Lihat selengkapnya