– 5 –
Gresik
Tak. Tak.
Hentakan ujung tongkat yang menetak lantai ubin menggema mendekat ke kamar di ujung lorong. Pintu ganda polosnya sedikit terbuka. Suara sumbang gesekan biola sesekali terdengar dari sana.
Perempuan bungkuk itu berdiri di ambang pintu kamar. Ia dapati sang cucu terpekur menggosok badan biola menggunakan kain basah.
“Marabunta?”
Pemuda itu memutar kepala menghadap arah suara. Ia bangkit dari sisi dipan dan memapah sang nenek dengan perlahan.
“Tubuhmu semakin kurus. Rambut itu ... sudah berapa lama kau biarkan memanjang? Bahkan, kau sekarang mengenakan subang di satu telinga?” Sang nenek mendongak menjelajahi setiap jengkal wajah Marabunta.
Pemuda itu memeluk sang nenek dengan hangat. “Bukankah aku semakin tampan dengan penampilan baru ini?” seringainya.
Mereka tergelak.
Nenek memukul lengan Marabunta dengan cukup keras. Sekeras yang ia mampu. “Mainkanlah simfoni nomor tiga untukku.” Nenek mengehala napas panjang. “Tujuh bulan kau meninggalkannya di sini. Kesepian seorang diri.”
Pemuda itu berusaha menghindari tatap sang nenek yang penuh selidik.
“Apa kau sudah bertemu dengannya?”
Marabunta menggeleng lemah. “Kota itu terlalu luas. Aku tidak tahu dia berada di bagian yang mana.”
Perempuan tua itu menggeser tongkatnya. “Kenapa kau tidak kembali saja ke rumah dan meminta bantuan ...”
Marabunta seketika bangkit dari dipan. Berdiri menghadap jendela. Satu tangan berpegang pada terali besi. Mencengkeramnya dengan kuat.