– 6 –
Kesawa melirik sekilas pantulan wajahnya pada kaca jendela mobil yang berembun. Lelah dan sembap. Ia menatap nanar patung anak sapi yang semakin menjauh. Sebelas tahun yang lalu ketika orang tuanya memutuskan pindah ke sana, ia sedikit terkejut. Hampir setiap rumah pasti memiliki kandang sapi. Jika tidak ada kandang, maka dapat dipastikan sapi-sapi itu berada di dapur. Tak jauh dari tempat tinggal barunya memang terdapat pabrik susu. Dengan segera ia dan keluarganya beradaptasi. Turut memelihara sapi-sapi milik koperasi.
Keputusan Wagiyo tak dapat ditawar.
Apa aku punya pilihan dalam hal ini? Aku bahkan tidak tahu tempat seperti apa yang akan kutuju.
Mobil meluncur dalam kecepatan sedang. Sesekali terhentak saat melintasi kubangan. Pendingin ruangan tak mampu lagi menggigilkan jiwanya yang beku. Kesawa meringkuk di kursi penumpang. Berusaha membuat jarak sejauh mungkin dari pria pucat yang membawanya.
Ia tarik ransel kumalnya hingga ke pangkuan. Sebuah buku tua terjatuh dari kantong tas yang risletingnya sudah tak mau menyatu. Ia raih dan genggam buku itu. Sadar bahwa perjalanan ini tak akan menjadi mudah.
Wajah dingin Wagiyo terus berkelindan. Setiap penekanan katanya terus menggema di rongga telinga. Semuanya seperti kaset video tua yang diputar berulang-ulang.
“Kau harus pergi dengan pria ini. Dan mulailah hidup baru. Lupakan pemuda brengsek itu!”
Pernyataan itu lebih terdengar sebagai ancaman di telinga Kesawa. Wagiyo mengucapkannya dengan banyak penekanan di bagian akhir. Sedang pria pucat berkepala botak itu berdiri di antara mereka tanpa ekspresi. Ia terus mengucapkan kalimat yang seakan sudah dilatih berulang kali.
“Kami akan menjamin pendidikan dan memberikan seluruh fasilitas terbaik untuk Anda ...” Ada jeda panjang yang sumbang di antara mereka. Sedang Wagiyo masih saja bergeming. “Tunjangan pendidikan dan biaya hidup juga akan kami berikan kepada saudara Anda yang lain, hanya jika Anda bersedia menyetujui setiap persyaratan yang kami berikan.”
“Aku tidak mengerti, jenis pekerjaan apa yang harus aku lakukan? Maksudku, kompensasi yang kalian berikan, tidakkah itu terlalu berlebihan?” Kesawa menatap curiga pada pria di hadapannya.
Pria pucat itu melanjutkan membaca selembar kertas bermaterai di tangannya seolah tidak mendengarkan apa yang Kesawa ucapkan. Sedikit pun.
“Hanya jika Anda bersedia tinggal dan menempuh pendidikan di tempat yang telah kami sediakan. Jika menolak, maka Anda harus menyerahkan seluruh hak-hak Anda kepada ahli waris lain dan Anda tidak akan mendapatkan apa-apa. Sedikit pun.”
Pria pucat itu menatap tepat ke dalam mata coklat Kesawa. Membuatnya kikuk.
“Sebaiknya Anda mengambil pilihan ini. Ikut bersama kami adalah hal terbaik yang bisa Anda lakukan, Nona.”
Kemarahan sudah di puncak kepala Kesawa. Sedang Wagiyo masih bertahan dengan Wajah dinginnya.
“Brengsek! Hanya aku yang bisa memutuskan mana yang terbaik untuk hidupku!”
Kesawa tak lagi mampu menggunakan nalar. Kebencian dan amarah menguasai seluruh persendian. Ia membungkuk dan meraih bolpoin di meja. Dengan tangan gemetar ia bubuhkan tanda tangan di sana. Di atas materai enam ribu berwarna kelabu.