– 7 –
Kaca jendela di sisi Kesawa terus berembun. Ia bahkan bisa mengukirkan kegelisahannya di sana. Ia angkat jari telunjuk, hendak menorehkan sesuatu di permukaannya. Tetiba ia tarik kembali. Tulisan itu sudah ada di sana. Dengan huruf kapital yang pada beberapa ujungnya mengalir sisa embun. PULANG.
Tangan Kesawa gemetar. Ia bahkan belum sempat melakukan apa-apa. Tapi itu muncul begitu saja. Mungkin aku hanya lelah. Ia sapukan telapak tangan ke wajah. Berharap bisa menghapus segala derita.
Kakinya lunglai. Ia merasa kehilangan pijakan. Tersadarkan telah membuat satu kesalahan fatal. Ia tidak memiliki jaminan untuk bisa keluar dari sana. Dari tempat mana pun yang akan mereka tuju.
Pak tua itu tidak mungkin membiarkanku melenggang pergi begitu saja. Ia berpikir aku akan tinggal di sana untuk waktu yang telah ditentukan. Brengsek!
Rinai tak lagi menggadu. Tiada lagi terdengar dentumannya pada atap mobil yang laju. Kecipak aspal basah masih terasa pada setiap gilasan roda.
Kesawa mengerjap mata perlahan. Ia usapkan salah satu ujung lengan jaket untuk memecah embun yang menggumpal. Pemandangan terlihat sangat berbeda sejak keluar dari pintu tol terakhir.
Sontak ia tegakkan punggung.
Memandang penuh heran ke sepanjang kanan dan kiri jalan. Pohon-pohon besar dan tua berjajar. Batangnya bergurat-gurat, licin, dan gelap. Tidak ada bangunan dan gedung tinggi. Tidak ada kendaraan berat yang saling berebut jalan. Semua tampak tenang.
Waktu serasa melambat di sini. Orang-orang berjalan kaki tanpa ketergesaan. Beberapa perempuan bercaping bambu melaju beriringan mengendarai sepedanya. Sesekali dokar melintas dengan ditarik satu atau dua ekor kuda.
“Anda ingin melihat alun-alun sebelum kita sampai ke tujuan, Nona?”
Renggono masih memasang wajah datarnya. Ia duduk kaku di balik kemudi berlapis kulit.
Tatapan mereka berserobok melalui kaca spion. Segera pria itu berpaling. Ragu. ”Semoga Anda tidak lebih terkejut ketika kita tiba di rumah.”