– 8 –
Lihat aku!
Lhat dia!
Dengarkan aku!
Dengarkan dia!
Tarik napasmu! Lihat aku!
Kesawa menarik napas mengikuti suara itu. Matanya terkatup dan basah. Ia rasai dekapan itu semakin melemah.
“Kesawa. Tenangkan dirimu!”
Pria itu. Suara Renggono.
Gadis itu membuka mata. Renggono masih di sana berusaha menyadarkannya.
“Perempuan itu, di mana dia?”
“Apa kau sudah bisa menguasai diri?” Renggono masih memegang kedua lengan atas Kesawa. Cengkeramannya terlalu kuat untuk pria bertubuh sekecil itu.
“Tempat apa ini? Bisakah kita kembali saja?” Kesawa masih disergap kepanikan.
Renggono hanya tersenyum. “Mulai saat ini Anda akan tinggal di sini. Bisa kita masuk?”
Renggono tak sungguh-sungguh meminta persetujuan dari Kesawa. Pria itu mendorong tubuh gemetar Kesawa untuk kembali ke kursi penumpang.
Mereka melintasi pagar besi yang sebagian sudah dibuka oleh Renggono. Setelah beberapa meter melaju, mulai terlihat sebuah atap bangunan berwarna coklat berlumut. Semakin mendekat, semakin terlihat jelas bangunan raksasa putih yang sangat tua dan berdiri kokoh di hadapan mereka. Menjulang tinggi dan tersembunyi dengan sangat apik di balik belukar dan pepohonan.
Kesawa menegang. Setidaknya ada tiga bangunan yang dapat ia temukan. Tempat itu bukan lagi sebuah cakela seperti yang terbayang dalam benak tergelapnya.
Bangunan terbesar berada di tengah. Terdiri dari dua lantai dengan pilar-pilar penyangga dari kayu flamboyan, masing-masing sebesar dua pelukan orang dewasa. Pintu kayu ganda berukir dengan pola simetris terletak tepat di tengah masing-masing bagunan. Pada kanan dan kiri pintu, berjajar jendela yang menjulang mengikuti ketinggian atap. Dengan cat yang sedikit kusam namun terawat dengan baik.
Sebuah menara yang cukup besar dengan sebuah lonceng kuningan pada puncaknya berdiri kokoh di sayap timur. Menara itu memisahkan bangunan utama dengan bangunan sebelahnya yang tidak kalah besar.
Kesawa tercengang. Ia tak pernah melihat hal yang serupa seumur hidupnya. Mereka mengirimku ke sebuah benteng peninggalan Belanda? Ini gila!
Renggono menghentikan kendaraan di bawah menara. Di sana juga sudah terparkir sebuah Honda Jazz warna merah dan Jeep tua hitam tanpa penutup yang tampak masih bertenaga.
Kesawa memutar kepala ke arah barat. Berdiri bangunan ketiga yang disatukan oleh sebuah jembatan di lantai dua. Seorang perempuan berdiri di balik salah satu jendela pada bangunan di lantai dua. Wajahnya tidak begitu jelas. Jaraknya terlalu jauh. Ia tampak mengawasi kehadiran mereka.
“Apa yang akan kau perbuat padaku, di sini?”
Renggono tidak segera memberi tanggapan. Pria itu membuka pintu untuk Kesawa. Namun, gadis itu mendekap ransel kumalnya dan tak beranjak dari sana.
“Anda sudah membubuhkan tanda tangan pada surat perjanjian itu, Nona!” Renggono mendesis. Tak sabar dengan sikap Kesawa yang mempersulit.
Gadis itu menapakkan kakinya ke lantai batu yang dingin. Terpaan semilir bayu seakan menyambut kembali kedatangannya dari masa yang lalu. Aroma mawar dan kamelia bergelayut manja ingin di sapa. Kesawa berjalan dengan kaku mengekor di belakang Renggono. Sesekali matanya tersauh pada hamparan taman bunga yang indah. Satu persatu anak tangga berlantai marmer mereka jajaki. Memasuki bangunan utama dengan pintu ganda yang terbuka sempurna.
Berdiri di tengah-tengah ruang tamu. Sambil tetap mendekap ransel, Kesawa memutar 360 derajat tubuhnya. Dengan kepala mendongak ke atas dan ke bawah. Tersihir oleh segala kemewahan yang terhampar di hadapannya. Ia seakan memasuki sebuah portal waktu. Kembali ke masa abad 18. Seluruh perabotannya terlihat mewah meski sangat kuno.