– 9 –
Bentang mencoba meraih tas ransel dari dekapan Kesawa. Gadis itu bereaksi terlalu cepat. Ia menolak siapa pun yang mencoba meraih tas kumal itu.
“Baiklah. Aku hanya mencoba bersikap sopan.” Bentang mengendikkan bahu dan berjalan ke arah tangga menuju lantai dua.
Pemuda itu menolehkan kepala ke belakang. “Kau ingin terus mematung di sana?”
Kesawa kehilangan kata. Ia mengekor dengan begitu kikuk di belakang Bentang. Gadis itu berusaha mengalihkan perhatiannya dari bagian belakang celana Bentang yang ketat. Pipinya kembali bersemu.
Di ujung tangga, Bentang berbelok ke kanan. Pintu-pintu kamar yang tampak besar dan berat berjajar di sepanjang lorong. Mata Kesawa jelalatan. Ia telan seluruh pencitraan yang terpapar di hadapannya. Dan ...
Brukk ...
“Kau menginginkan satu pelukan dariku?” Bentang tersenyum nakal. Lalu tergelak begitu melihat wajah Kesawa yang merah padam.
“Aku tidak sengaja menabrakmu. Kau ... berhenti begitu saja!” Gadis itu tergeragap. Ranselnya terjatuh dan memuntahkan sebagian isinya.
Bentang menatap iba pada gadis polos berwajah tirus itu. Anak-anak rambut tampak tersembul dari topi wolnya yang pudar. Ia menunduk dan memungut sebuah buku catatan bersampul kusam. Belum sempat ia serahkan, Kesawa sudah merebutnya dengan kasar dari tangan Bentang.
Bentang membuka salah satu pintu kamar di dekat ujung lorong. Aroma maskulin menguar seketika. Pemuda itu melemparkan tubuhnya ke atas ranjang berukuran jumbo setelah meletakkan helmnya di salah satu rak dekat pintu.
“Ini kamarku. Kau akan lebih sering berada di sini. Melakukan dan memberikan apa saja yang aku butuhkan.” Ia melirik sekilas ke arah pintu. Kesawa masih mematung di sana dengan segala kepolosannya.
Bentang menepuk-nepuk ranjang empuknya. “Kemarilah. Kau tak ingin mencobanya?”
Jantung Kesawa berdentum-dentum.
“Tak akan kubiarkan seujung rambut pun kau sentuh tubuhku!”
Teriakan gadis itu menggema di dalam kamar dan sepanjang lorong. Membuat Bentang seketika terduduk dan menatap serius ke pedalaman mata gadis itu.
Bentang bangkit dari atas ranjang empuknya. Berjalan cepat ke arah Kesawa yang masih bergeming di ambang pintu. Gadis itu mundur selangkah dengan gemetar. Ia pejamkan mata dan spontan melindungi wajah dengan kedua lengan yang tersilang.
Tubuh jangkung Bentang melengkung ke depan. Kepalanya menunduk menatap Kesawa. Wajah mereka hampir bertemu. Tatapannya melunak.
“Jadi, kau sungguh-sungguh mengharapkan aku melakukan semua itu?”