Tyas Santoso
Kali pertama mengikuti penempatan suami sebagai diplomat muda berpangkat Sekretaris III di KBRI Bangkok, saya menemukan banyak hal baru yang belum pernah saya alami sebelumnya. Saya yang sebelumnya bekerja sebagai tenaga pengajar, jarang menemui hal-hal yang berbau protokoler dan di sinilah saya kemudian banyak belajar tentang aturan keprotokoleran. Termasuk tentang tata busana, cara berdandan, hingga tata cara jamuan makan.
Tak lama setelah kami tiba di Bangkok, KBRI Bangkok mengadakan upacara serah terima jabatan para pejabat. Kebetulan saat itu ada pejabat yang sudah selesai masa tugasnya di KBRI Bangkok dan harus kembali ke Jakarta. Tugasnya digantikan oleh pejabat yang baru datang. Pada upacara seperti ini, para istri diwajibkan untuk turut hadir dengan mengenakan baju nasional atau kebaya. Mau tak mau, saya harus memakai kebaya, jarit, lengkap dengan sanggulnya.
Repotnya, sejak kecil saya memang cenderung tomboi. Karena orangtua saya dua-duanya bekerja, saya sering dititipkan di rumah kakek-nenek. Melihat cucu perempuannya yang kurang menunjukkan sisi kewanitaannya, kakek saya sering berujar, “Cah wedok kok koyo cah lanang, ora tau nganggo rok, pethakilan.” Artinya lebih kurang seperti ini, “Anak perempuan kok seperti anak laki-laki, tidak pernah memakai rok, tingkahnya lasak.”
Pagi itu adalah kali pertama saya menghadiri acara resmi yang mengharuskan saya tampil berkebaya dan bersanggul. Rasanya saya seperti ingin menangis saat harus memasang sanggul. Saya baru menyadari betapa susah memakai sanggul sendiri. Saya jadi teringat nenek saya yang asli putri Solo, yang tiap hari bersanggul, sekalipun hanya di rumah.
Betapa melelahkannya ketika harus menyasak dan merapikan rambut, kemudian memakai sanggul cepol. Padahal, yang saya pakai sanggul modern yang sederhana, bukan sanggul Jawa yang biasa dipakai pengantin wanita lengkap dengan sunggar di samping telinga. Setelah sanggul sudah jadi apa adanya, saya pun mengenakan kebaya dan jarit.
Akhirnya, dengan percaya diri, saya menghadiri acara serah terima jabatan yang diadakan di aula kantor. Langkah kaki saya yang biasanya cepat dan panjang berubah menjadi pendek-pendek, pelan, dan lemah lembut. Saya lalu bergabung bersama ibu-ibu lain yang ternyata lebih cantik, feminin, dan terlihat lebih pantas berkebaya.