Hamzah sedang mengetik di ruang guru, menyiapkan soal-soal yang akan dikerjakan oleh santri ketika ulangan akhir semester telah tiba. Pengetikannya harus berhenti ketika mendengar Delvi bersenandung secara tidak sadar ketika dia sedang menulis sesuatu, selawat badar begitu merdu dan membuat Hamzah memejamkan mata sembari menikmati lantunan indah dari suara Delvi.
Ketika senandung selawatnya berakhir, Hamzah tersenyum lalu bertepuk tangan. "Wah, suaranya Ibu Delvi memang indah, saya saja gak sadar hampir tidur loh. Kenapa gak jadi guru nasyid saja, Bu?"
"Terima kasih, Bu. Tap, saya belum percaya diri untuk menjadi guru nasyid," jawab Delvi, benar-benar ragu dengan dirinya yang apakah bisa mengajari santri-santri dalam mata pelajaran tersebut.
"Sayang sekali, padahal suara Ibu meyakinkan loh. Ngomong-ngomong, sejak kapan Ibu Delvi suka bernyanyi?" tanya Hamzah.
"Sejak kecil, Bu. Dan saya sangat suka berselawat, kata almarhum ayah saya, jika kita selalu berselawat, maka kita akan mendapatkan syafaat. Saya pun melakoni dunia tarik suara ketika smp dan mengikuti lomba dari panggung ke panggung, yang tentunya lomba berselawat. Alhamdulillah, selalu mendapat juara satu," jawab Delvi, sembari membagikan pengalamannya sewaktu sekolah. Tak sampai di smp, dia terus mengikuti ajang kompetisi hingga kuliah dan berhenti ketika dirinya telah menjadi guru.
"Hebat, pantas sih Ibu juara satu karena suara Ibu memang indah dan merdu."
"Terima kasih, Bu."
"Sering-sering nyanyi yah, Bu. Biar adem ruang gurunya, sekaligus para guru juga. Sekali-kali, nyanyi kalau ada Ustaz Tamrin yah," balas Hamzah membuat Delvi tersipu malu.
Hamzah mengangguk senang, meyakinkan Delvi agar wanita itu melakukannya. Saking semangatnya, sampai-sampai Hamzah mengambil kursi milik Haura lalu duduk di samping Delvi dan memberitahukannya, "Saya tahu kalau kalian itu saling suka, jangan berbohong pada hatimu, Bu. Tatapan kalian itu benar-benar membuat saya gemas, hanya saja ... kalian malu-malu mengungkapkan layaknya remaja yang saling cinta monyet." Delvi semakin merona mendengarnya, apakah benar jika Tamrin juga menyukainya?
Seakan dapat menebak pikiran wanita itu, Hamzah menepuk pundak Delvi dan semakin meyakinkannya, "Jangan takut untuk jatuh, namanya juga jatuh cinta, tak akan selalu mulus. Namun, akhir yang indah akan menanti jika yang kamu dapatin nantinya adalah hal yang tidak kamu inginkan, sungguh ... jodoh ada di tangan-Nya, dan surat takdir pun telah ia catat serta ditentukan di hari yang tepat, paham kan?" Delvi tak sadar menitikkan air mata, dirinya terharu dan hal itu semakin membuat Hamzah percaya, bahwa dugaannya selama ini benar. Namun, Hamzah juga sedikit kesal kepada Hendra, apalagi Haura yang terang-terangan menyukai Tamrin, sementara yang satunya ke Delvi. Ini sungguh membingungkan juga merumitkan, cinta segi empat? Hamzah tak pernah membayangkan hal ini.
"Bu, makasih banyak. Tapi tolong, jangan sampai Ustaz Tamrin tahu mengenai hal ini, saya ingin dia sendiri yang menyadarinya tanpa dia ketahui dari bibir orang lain, kumohon."
"Pasti, Bu. Saya selalu tutup mulut," balas Hamzah, kemudian memeluk Delvi.
ლ(́◉◞౪◟◉‵ლ)