Setelah mengetahui dirinya sedang sakit-ilmu hitam yang bersemayam dalam tubuh-Delvi memutuskan agar menjauhi Tamrin untuk sementara waktu, hingga pria tersebut memutuskan untuk melamarnya. Kini di hari minggu ini, ibunya-Suratih-telah tiba di rumah dan mempertanyakan siapa yang akan melamarnya, Delvi hanya menjawab bahwa besok adalah hari di mana pria itu akan datang dan rasa penasaran ibunya juga akan terjawab.
"Nak, kenapa kamu jadi pendiam seperti ini? Biasanya ... orang yang akan dilamar itu pasti mukanya senyum-senyum, tapi, kamu sangat berbeda, ada yang mengganggu pikiranmu?"
Benar, Bu. Ada, semenjak diriku tahu bahwa aku adalah seorang parakang. Dan hal itu, dikarenakan ulah ibu sendiri yang akan gila terhadap harta kekayaan.
"Tidak, Bu. Delvi baik-baik saja, cuman ... lagi gak banyak ngomong karena sariawan, pedis, he he he."
Maaf, kata itu terselip dalam batinnya ketika harus membohongi sang ibu, karena dia amat kecewa kepada ibunya sendiri. Perbuatan syirik telah mereka lakoni dan dia takut, apakah Allah dapat mengampuni dosa mereka atau tidak.
"Oh, sariawan toh. Ngomong-ngomong, Ibu makin penasaran deh sama calon kamu, rupanya bagaimana, ekonominya seperti apa, akhlaknya juga bagaimana, dan masih banyak lagi dalam segi sifat," ucap Suratih, seakan-akan menginginkan menantu yang sempurna, sehingga Delvi terpaksa memberitahu, "Bu, jangan terlalu menuntut agar calon suamiku itu mendekati dari kata sempurna, misalnya dia orang yang sederhana sekalipun, gak masalah kok buat aku, asalkan bahagia dan sehat lahir batin, juga dapat menuntun Delvi agar menjadi penghuni surga bersamanya."
"Aamiin, Nak."
Malam pun tiba, Delvi mencari botol mineral yang ia simpan di atas meja semalam, tapi ... dia tidak menemukannya. Ke mana botol tersebut? Delvi kembali mencarinya hingga ia menemukan sebagian bentuk botol itu di bawah ranjang, ketika ia merunduk, Delvi berteriak.
"Astagfirullah, apa itu?" Layaknya jumpscare dengan rupa yang sangat menyeramkan hampir menyakar wajahnya, juga melihat tangan yang menghitam dengan kuku-kukunya yang panjang dan tajam.
Delvi menenangkan dirinya, berusaha menghapus rasa takutnya dengan mengucapkan istigfar kemudian membaca surah An-Nas lalu mengambil sebuah kemoceng agar dapat meraih botol tersebut dari jarak jauh, akan tetapi ... botol tersebut seakan ditarik pula semakin dalam agar Delvi tak dapat mengambilnya.
Suratih, wanita tersebut menuju kamar anaknya setelah mendengar lengkingan Delvi yang begitu kencang.
"Nak, kamu kenapa?" Pintu pun terbuka, menunjukkan Delvi wajah Delvi yang memucat beserta keringat yang membasahi wajahnya.
"Gak pa-pa, kok, Bu. Delvi cuma mimpi buruk saja."
"Astaga, Nak. Kamu buat Ibu khawatir loh."
Delvi tersenyum seolah menjelaskan bahwa dia baik-baik saja. Selanjutnya, Delvi meminta izin ke ibunya untuk keluar sebentar, setelah keluar dari rumah, dia menuju rumah Tamrin dengan cepat. Diketuknya pintu dengan terburu-buru lalu mendapatkan Tamrin yang menatapnya dengan kening yang mengerut.