Delvi tahu, apa yang ia lakukan barusan merupakan hal yang gila seumur hidupnya, menolak kesepakatan dari Tamrin secara tiba-tiba di hadapan ibunya sendiri-berbohong-dia sendiri pun sedih sebenarnya harus seperti ini.
"Dek, apa maksud kamu? Kemarin kita membicarakan hal ini sematang-matangnya dan akhirnya sepakat mengenai uang panaik, tapi ... kenapa tiba-tiba kamu menolak lupa?" tanya Tamrin, wajahnya terheran-heran dan tidak menyangka dengan jawaban Delvi.
"Maaf, Nak. Jawaban Delvi sudah jelas dan kamu mengada-ngada. Kamu melamar anak saya dengan uang 50 juta saja? Maaf, terlebih lagi melihat dan mendengar respon Delvi barusan, itu sudah mewakili saya bahwa lamaran Anda tidak saya restui!"
"Apa ini, Tamrin? Kamu ingin mempermalukan Bapak di hadapan mereka? Sudah jelas-jelas dia tidak menyukaimu, lalu mengapa kamu melamarnya, Nak?"
"Tidak, Pak. Kami jelas-jelas saling mencin-"
"Tidak, kata cinta tak ada dalam diri saya. Hanya saja, Pak Tamrin sendiri yang menyimpulkan hal itu," potong Delvi semakin membuat Tamrin tidak percaya, matanya pun kini berkaca-kaca di hadapan orang tuanya, juga di hadapan dia dan ibunya.
"Delvi apa maksudmu, Dek? Kamu mempermainkan saya? Kamu menghina saya?" Tamrin tidak tahan lagi, bahkan ia menitikkan air mata dikarenakan sakit hati secara tiba-tiba.
"Tidak, tapi kamu sendiri yang mendatangkan hinaan tersebut, silakan keluar, Pak, Bu." Suratih mengambil alih, dia pun senang jika Delvi menolak lamaran tersebut yang notabennya hanya 50 juta saja.
Tamrin tersenyum lirih, memandang Delvi sejenak kemudian berbalik lalu keluar menyusul orang tuanya yang juga memasang wajah malu penuh hinaan.
Delvi tak kuasa melihat hal tersebut, ia berusaha menahan air matanya agar tidak ketahuan kepada ibunya.
"Bagus, Nak. Masa dia mau ngelamar kamu 50 juta, sedangkan kita berasal dari keluarga yang kaya, duh ... mau taruh di mana muka Ibu di hadapan tetangga?!" ujar Suratih histeris tapi tak mendapat balasan apa pun dari Delvi, karena wanita tersebut langsung masuk ke kamarnya dan menumpahkan tangisnya secara diam-diam.
"Maaf, Mas. Maaf! Aku harus melakukan ini, karena ... aku merupakan parakang, untuk menghentikan itu, biarlah diriku yang menanggungnya seorang diri," ucap Delvi, menekan suaranya di balik bantal agar ibunya tidak mendengarnya.
Tamrin, pria itu menangis pilu dalam kesendiriannya di kamar. Orang tuanya tidak ingin menampakkan diri lantaran hinaan dari Ibu Suratih yang begitu kejam, membuat mereka benar-benar malu.
"Terima kasih, ini merupakan kejutan yang luar biasa untuk menghancurkan hati saya, Delvi. Kamu berhasil, dan kali ini ... biarkan saya menghapus nama kamu di dalam hati."
Merasa puas dengan tangisannya, Delvi segera mengemasi seluruh pakaian ke dalam kopernya, dia berniat untuk meninggalkan kampung ini lalu pulang ke rumahnya. Namun, sebelum dia benar-benar pergi, ada hal yang harus dia sampaikan ke Tamrin, agar pria tersebut tidak selamanya menaruh benci kepadanya.
Delvi keluar dari kamar, meninggalkan ibunya yang bertanya bahwa ada apa dengan matanya yang membengkak? Suratih pun memanggil tapi Delvi mengabaikan, hingga teriakan ibunya benar-benar melengking kali ini.
"Delvi!"
"Jangan menggangguku, Bu. Ada yang harus kuurus!" Delvi tidak sadar membentak ibunya, lalu pergi begitu saja.
"Del-Delvi," lirih Suratih memandang punggung putrinya yang perlahan menghilang.