Ketika pulang dari pesantren, Haura menahan Delvi yang ingin pulang bersama suaminya.
"Bu Delvi, saya ingin berbicara sama Ibu sebentar secara empat mata, boleh?" pinta Haura. Delvi menatap sang suami yang sedikit khawatir dengan Delvi, karena tahu jika Haura masih berharap kepadanya.
Delvi tersenyum, meyakinkan suaminya bahwa dia bisa mengatasi ini, sekaligus ingin menyelesaikannya juga karena sedikit lelah dengan ketidaksukaan Haura yang ia sadari walau berpura-pura tidak tahu.
"Mas, kamu duluan saja, aku mau bicara sama Ibu Haura."
"Iyah, Dek." Tamrin menatap Haura, ia tersenyum tipis sebagai salam pamit, "Asalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Kemudian, Haura mengajak Delvi ke kelas A, dan mulai berbicara. "Bu, saya akan jujur, saya cinta sama Mas Tamrin, jika Ibu berkenan, saya ingin menjadi istri keduanya, karena sungguh ... saya tak bisa menahan perasaan ini," ungkapnya membuat Delvi terkejut, detik selanjutnya, terdengar helaan napas dari Delvi.
"Heuft .... . Maaf Bu Haura, saya enggak rela kalau suami saya melakukan poligami, saya pun tak memersalahkan perasaaan Ibu, tapi Ibu harus menghargai perasaan saya. Dan saya tekankan, jika saya menolak akan hal itu, terlebih lagi dengan suami saya, kalaupun saya mengizinkan, Mas Tamrin belum tentu mau juga," balas Delvi.
"Bu! Tolong terima permintaan saya, saya cinta sama Pak Tamrin, saya mencintainya!" bentak Haura, Delvi rasa, situasi sekarang sudah tidak membaik lagi, dengan pelan ia memberitahu Haura baik-baik, "Tidak bisa, Bu. Tolong jangan seperti ini, saya tidak memersalahkan perasaan Ibu, tapi melihat sikap Ibu yang sekarang, saya rasa bukan cinta yang tertanam, melainkan sebuah nafsu semata," balas Delvi.
"Nafsu? Ini bukan nafsu, Delvi! Saya mencintai Tamrin, dan kamu jangan halangin saya, saya mau ke Tamrin sekarang ini!" ucapnya membentak Delvi, dan mendorongnya sedikit kasar agar tak menghalangi langkahnya.
Delvi geleng-geleng, menatap Haura dengan tatapan mirisnya sembari berkata, "Silakan, seberapa tulus, lembut, baiknya Ibu bertutur kata kepada Mas Tamrin, saya percaya sama dia untuk tidak mengkhianati perasaan istrinya!" tegas Delvi, kemudian menyusul Haura. Di depan sana, Haura nampak tak peduli, ia menutup telinganya sembari melangkah dengan cepat menuju rumah Tamrin dan Delvi.
Ia tersenyum ketika melihat Tamrin yang sedang membuka kunci pintunya, ia pun berteriak, "Mas Tamrin!"
Tamrin berbalik, memandang Haura yang berlari ke arahnya dengan wajah yang tersenyum cerah.
"Bu Haura? Istri saya di mana?" tanya Tamrin.
"Ada di belakang. Mas, saya mau bicara penting sama kamu!" Haura tak begitu sabaran, bahkan menyentuh tangan Tamrin secara terang-terangan, apalagi di hadapan para tetangga yang sedang menyapu halaman rumah mereka.
"Bu!" Tamrin refleks menarik tangannya, mengucap istigfar karena telah bersentuhan dengan yang bukan mahramnya, apalagi dia telah beristri.
"Bu, kenapa dengan Ibu?" tanya Tamrin, waspada dengan Haura yang kapan saja kembali menyentuhnya.
Haura tersenyum. "Maaf Mas, ada yang ingin aku sampaikan sekarang, bahwa aku rela jika menjadi istri keduamu."
Tamrin menggeleng tegas, dan mengucapkan penolakan di hadapan Haura, tepat ketika Delvi telah tiba. "Saya sudah memiliki istri dan takkan pernah berpoligami, karena saya tidak yakin dapat berlaku adil, mengapa? Cinta saya hanya untuk Delvi seorang!" Pukulan telak untuk Haura, sementara Delvi begitu lega dan bersyukur mendengar hal itu.
Lain pula dengan Haura, sedih dan malu kini menyerangnya, ia menatap di sekeliling yang telah dikerumuni oleh banyak warga munawarah.
"Bu Haura, astagfirullah, mau jadi pelakor seperti di sinetron, Bu? Cinta itu tak selamanya memiliki, yang terpenting adalah ... melihatnya bahagia, itu sudah cukup, walau hati kita yang tersakit, bisa dikatakan, ikhlaskan dan terima apa adanya," ucap Markonah yang begitu seriusnya menyampaikan hal itu, apalagi dia masih memegang sapu dan skop sampah, membuat sebagian orang tertawa, tapi juga membenarkan perkataannya.
Haura mengusap air matanya. "Mas, aku cin-"
"Saya tak bisa membalas perasaan Anda, Bu Haura. Mohon maaf, jangan ganggu rumah tangga saya lagi, Ibu gak takut sama hukuman Allah?" tanya Tamrin. Entah apa yang ada di pikiran Haura, dirinya menggeleng dengan tegas.
"Takut? Untuk apa? Saya terjerumus dan menyekutukan-Nya karena telah berilmu ke dukun hanya untuk kecantikan dan harus rela menanggung kesesatan yang bernama parakang itu, dan kini? Mas Tamrin tak menghargai semua usaha saya?!"
"Astagfirullah!" Tamrin tak dapat berkata-kata selain istigfar, jadi ... Haura merupakan parakang? Tapi, sejak kapan?
Para warga terkejut, emak-emak kampung munawarah terutama Si Markonah, mundur begitu karena merasa takut.
"Bu Haura, se-sejak kapan?"
"Sudah lama, dan saya akan mengakui, bahwa sayalah yang membunuh bayi malang itu, karena saya sudah sangat lapar dan membutuhkan makanan, jika tidak, kecantikan saya akan luntur. Dan sekarang-" Haura menahan ucapannya, ia tersenyum miring yang tampak menyeramkan, kemudian melanjutkan ucapannya, "apa yang akan kamu lakukan, Mas?"
"Pergi dari sini, jika kamu ingin selamat!" Nada Tamrin menjadi berubah, ia menatap Haura dengan tajam dan dingin. Haura tidak tersentak atau pun merasa takut, dia menatap Tamrin dengan tatapan yang menantang.
"Bisa apa kamu, hm?"
Tamrin tak melakukan apa-apa, ia mengabaikan Haura dan menuju istrinya lalu membawanya masuk ke rumah. Namun sebelum itu, dengan terang-terangan, ia menyampaikan kepada orang-orang yang kini berkumpul di depan rumahnya.
"Ibu-Bapak sekalian, mohon maaf atas keributan yang telah terjadi di sini, sebaiknya kita masuk ke rumah masing-masing, karena saya rasa, Ibu Haura ini sedang tidak sehat pikirannya, asalamualaikum," ujar Tamrin, kemudian masuk ke rumahnya, bersama Delvi. Para warga lainnya pun mengangguk dan kini pergi secara perlahan, dan Haura, dia benar-benar marah ke Tamrin, pria itu meremehkannya, dengan tangan yang mengepal, ia menggumam penuh dendam, "Tunggu apa yang terjadi nanti malam."
Dalam rumah, Tamrin melihat di balik jendela, setelah tak ada keberadaan Haura di sana, Tamrin langsung mengatakan. "Dek, kamu sampaikan ke orang-orang, siapa saja yang penting berita ini bisa tersebar di seluruh kampung munawarah kecuali Haura seorang, karena apa? Aku yakin jika Haura benar-benar serius mengenai dirinya yang merupakan parakang. Pesannya adalah; Bu-Pak, nanti malam, sebagian ke rumahnya Bu Haura, sebagian pula ke rumah saya, dan jangan sampai Haura tahu akan hal ini, karena saya merasa ... ada yang akan dilakukan oleh wanita itu, mohon bantuannya, sekaligus kita akan membuktikan, apakah dia benar-benar telah menjelma sebagai parakang atau hanya sebuah ancaman."
Delvi mengangguk ngeri, dirinya dengan cepat menyebarkan pesan tersebut, dan para warga begitu patuh menyebarkan pesan itu pula.