Malam telah larut ketika Lirien melangkah keluar dari ruangan megah itu.
Udara di dalam kastil terasa lebih dingin dibandingkan di luar. Seolah batu-batu hitam yang membangun tempat ini telah menyerap segala kehangatan dan menyisakan kehampaan yang menggigilkan tulang.
Ia tidak boleh goyah.
Lirien menarik napas panjang, membiarkan paru-parunya dipenuhi udara dingin sebelum melangkah menyusuri lorong panjang. Sepanjang dinding, lilin-lilin tinggi berkelip dalam kegelapan, bayangannya menari-nari di permukaan lantai marmer hitam.
Langkahnya terhenti di depan sebuah pintu besar yang diukir dengan pola menyerupai akar-akar pohon yang saling melilit. Ruangan ini akan menjadi tempatnya bekerja, tempat di mana ia akan menghabiskan hari-harinya sebagai sekretaris pribadi Penguasa Kastil Zevannar.
Dengan hati-hati, ia mendorong pintu itu.
Ruangan di dalamnya lebih luas dari yang ia bayangkan. Deretan rak buku menjulang hingga langit-langit, dipenuhi gulungan perkamen, buku-buku tebal berlapis debu, serta kristal-kristal kecil yang berpendar lemah di kegelapan. Di sisi ruangan, meja panjang dari kayu obsidian dipenuhi tumpukan dokumen yang belum tersentuh.
Di tengah semua itu, satu hal yang menarik perhatian Lirien adalah jendela besar di sisi ruangan.
Jendela itu menghadap langsung ke lembah yang mengitari kastil. Dari sini, ia bisa melihat hutan hitam yang membentang luas di bawah langit yang nyaris tak berbintang. Tak ada tanda-tanda kehidupan di sana—hanya bayangan yang bergerak samar, seolah sesuatu tengah mengintai dari dalam kegelapan.
Lirien merasakan bulu kuduknya meremang.
Tempat ini… terasa lebih dari sekadar kantor kerja.
Seolah ada sesuatu yang bersembunyi di balik dinding-dinding ini.
Sebelum ia sempat berpikir lebih jauh, suara langkah kaki terdengar di belakangnya.