Udara di dalam lorong lebih dingin daripada yang Lirien duga.
Bau tanah basah dan batu tua memenuhi hidungnya saat ia melangkah masuk, kegelapan menyelimuti sekelilingnya seperti tirai yang menutup dunia luar. Di belakangnya, Raventhorn berdiri diam di ambang pintu rahasia, matanya mengawasi setiap gerakannya.
“Kau yakin ingin melangkah lebih jauh?” tanyanya, suaranya terdengar seperti gaung samar di antara dinding sempit.
Lirien menoleh ke arahnya. Ada sesuatu dalam tatapan pria itu—bukan peringatan, bukan ancaman, tetapi… keingintahuan yang bercampur dengan sesuatu yang lebih dalam.
“Aku ingin tahu apa yang terjadi di sini,” jawabnya tegas.
Senyuman tipis terbentuk di sudut bibir Raventhorn. Ia melangkah masuk ke dalam lorong, menutup celah di belakang mereka dengan satu gerakan tangannya. Suara batu yang bergeser menggema di udara, dan tiba-tiba, mereka benar-benar terpisah dari dunia luar.
Lirien menelan ludah, menyadari bahwa satu-satunya sumber cahaya kini adalah api kecil yang menyala di telapak tangan Raventhorn.
“Maju,” katanya pelan.
Lorong itu sempit, cukup untuk dua orang berjalan berdampingan, tetapi bayang-bayang yang dilemparkan oleh nyala api membuatnya tampak lebih panjang, lebih menyeramkan. Lirien bisa merasakan kelembapan merembes dari dinding-dinding batu, seolah tempat ini telah ada selama berabad-abad tanpa disentuh cahaya.
Mereka berjalan dalam diam, hanya suara langkah kaki yang terdengar di antara kegelapan.
Hingga akhirnya…
Tok. Tok. Tok.